JAKARTA, KOMPAS.com - Desentralisasi hingga ke desa dinilai menjadi salah satu potensi korupsi. ICW mencatat, sepanjang 2016, terungkap 62 kasus korupsi di desa dengan kerugian negara mencapai Rp 18 miliar.
Risiko korupsi di desa kian meningkat dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2004 tentang Desa yang diikuti adanya program dana desa sejak 2015.
Dalam UU tersebut kewenangan kepala desa terlampau kuat dalam mengelola dana desa.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan, kondisi tersebut memperlihatkan bahwa tak adanya proses demokratisasi mengiringi desentralisasi hingga ke desa. Imbasnya, transparansi dana desa cenderung lemah.
"Ketika warga desa tidak puas dengan kinerja kepala desa, ada yang bisa dilakukan? karena di UU Desa, kepala desa cenderung diberikan kewenangan mutlak,"' kata Adnan di Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, Kamis (6/4/2017).
Menurut Adnan, tingginya kewenangan kepala desa memperbesar potensi korupsi.
(Baca: Dana Desa Bermasalah? Telepon ke 15040!)
"Harus dibenahi mekanisme demokrasi langsung terhadap pengelolaan dana desa. Karena desa adalah tempat paling bail untuk tanamankan demokrasi," ucap Adnan.
Adnan menuturkan, diperlukan inovasi dan kreativitas masyarakat desa dalam memantau penggunaan dana desa.
Aplikasi "Jaga" yang diciptakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menjadi salah satu bentuk pengawasan.
"Tapi harus dilihat pula apa yang masyarakat desa inginkan. Cara paling sederhana dengan menempelkan penggunaan dana desa di balai desa agar masyakarat tahu penggunaanya," ujar Adnan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.