Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/04/2017, 15:47 WIB

Oleh: Marcellus Hernowo

Dewan Perwakilan Daerah hadir sebagai buah reformasi. Lembaga ini dibentuk hasil perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan pada 2001.

Pembentukan DPD berawal dari pemikiran fraksi-fraksi di MPR saat perubahan konstitusi bahwa unsur perwakilan di lembaga perwakilan harus dipilih melalui pemilu. Karena itu, unsur utusan daerah dan golongan yang keanggotaannya di parlemen saat itu ditunjuk pemerintah lalu dihapus.

Kedua, pembentukan DPD juga terkait dengan maraknya penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu adanya lembaga di tingkat pusat sebagai bentuk representasi kepentingan rakyat di daerah.

Namun, sejak awal pembahasan, pembentukan DPD ini sudah diiringi dengan perdebatan yang keras mengenai kewenangan dan posisinya.

Dalam buku Dewan Perwakilan Daerah, Menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Sistem Bikameral dalam Lembaga Perwakilan Indonesia, Subardjo menulis, saat itu, Fraksi TNI/Polri konsisten menolak keberadaan DPD karena kehadirannya dikhawatirkan bertentangan dengan sila keempat dan kelima Pancasila. Sementara Fraksi PDI-P dan Fraksi Utusan Golongan menolak pemberian status "lembaga legislatif" kepada DPD. Kekuasaan dan tugas DPD diberikan secara terbatas dalam konstitusi.

Di sisi lain, Fraksi Partai Golkar meminta DPD dan DPR mempunyai fungsi legislasi dan pengawasan terhadap pemerintah. Fraksi Bulan Bintang dan Fraksi Utusan Daerah menghendaki DPD seperti Senat di Amerika Serikat dalam konteks sistem bikameral.

(Baca: Pemilihan Pimpinan Baru DPD Dinilai Menyimpang)

Dengan berbagai pendapat tersebut, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengusulkan kuasi bikameral sebagai jalan tengah. DPD diakui bukan badan legislasi, tetapi diberi kewenangan terbatas dalam proses penyusunan UU. Tawaran kompromi politik itu yang lalu muncul dalam Pasal 22C dan 22D UUD 1945 yang kemudian menjadi dasar dari kehadiran DPD.

Dari Pasal 22C dan 22D UUD 1945, terlihat bahwa DPR lebih powerful dibandingkan dengan DPD. Berbagai upaya penguatan kewenangan akhirnya menjadi agenda DPD sejak anggota lembaga itu hadir sebagai hasil Pemilu 2004. Namun, amandemen V konstitusi yang digagas DPD sampai sekarang belum terwujud.

Ketentuan di konstitusi bahwa anggota DPD tak lebih dari sepertiga anggota DPR jadi tantangan utama dalam mendapatkan dukungan untuk perubahan amandemen, yaitu minimal diusulkan oleh sepertiga dari total anggota MPR atau 231 orang dari 692 anggota MPR. Sementara total anggota DPD 132 orang. Ini berarti DPD harus didukung DPR untuk mengamandemen UUD.

Upaya penguatan juga dilakukan DPD melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tahun 2013, MK mengembalikan tiga kewenangan DPD di bidang legislasi, yakni mengusulkan rancangan undang-undang, turut membahas RUU, dan menyusun program legislasi nasional.

Namun, pada 2008, MK juga menyatakan, syarat bukan pengurus dan/anggota partai politik untuk calon anggota DPD bukan merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22E Ayat 4 UUD 1945. Ayat itu menyatakan, peserta pemilu DPD adalah perseorangan.

Dengan putusan MK itu, anggota dan pengurus partai politik dapat menjadi anggota DPD. Bahkan, kini banyak sekali anggota DPD berasal dari partai.

(Baca: "Kalau MA Konsisten, Seharusnya Tak Pandu Sumpah Jabatan Pimpinan DPD")

Di tengah wewenangnya yang terbatas, polemik kepemimpinan DPD menunjukkan bahwa posisi pimpinan di lembaga itu tetap prestisius dan penting. Ini tentu tidak semata karena ada sejumlah fasilitas yang khusus diberikan untuk pimpinan DPD, seperti rumah dan mobil dinas serta ruang kerja yang lebih luas dibandingkan anggota DPD.

Berkaca pada perkara yang menimpa mantan Ketua DPD Irman Gusman, perebutan kursi unsur pimpinan DPD juga karena perebutan pengaruh. Irman divonis 4,5 tahun penjara karena menerima Rp 100 juta. Uang itu didapat karena ia memperdagangkan pengaruh dalam distribusi gula impor dari Perum Bulog untuk wilayah Sumatera Barat.

Pengaruh sebagai ketua atau pimpinan DPD tentu tak hanya dapat dipakai seperti untuk kasus Irman, tetapi juga untuk hal lain, seperti pertarungan kekuasaan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 April 2017, di halaman 1 dengan judul "DPD Cacat sejak Lahir...".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Nasional
Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Nasional
[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

Nasional
Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Demokrat Anggap Rencana Prabowo Tambah Kementerian Sah Saja, asal...

Demokrat Anggap Rencana Prabowo Tambah Kementerian Sah Saja, asal...

Nasional
Indonesia Digital Test House Diresmikan, Jokowi: Super Modern dan Sangat Bagus

Indonesia Digital Test House Diresmikan, Jokowi: Super Modern dan Sangat Bagus

Nasional
Menko Polhukam Harap Perpres 'Publisher Rights' Bisa Wujudkan Jurnalisme Berkualitas

Menko Polhukam Harap Perpres "Publisher Rights" Bisa Wujudkan Jurnalisme Berkualitas

Nasional
Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP

Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP

Nasional
Kasus Dugaan Asusila Ketua KPU Jadi Prioritas DKPP, Sidang Digelar Bulan Ini

Kasus Dugaan Asusila Ketua KPU Jadi Prioritas DKPP, Sidang Digelar Bulan Ini

Nasional
Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Nasional
Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Nasional
KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

Nasional
Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com