JAKARTA, KOMPAS.com - Keputusan Mahkamah Agung (MA) untuk tetap memandu pengambilan sumpah jabatan terhadap Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang baru menuai kritik.
MA dianggap melanggar putusannya sendiri. Sebelumnya, MA telah membatalkan Tata Tertib Nomor 1 Tahun 2016 dan 2017 yang menjadi dasar hukum pemilihan Pimpinan DPD yang baru.
Tatib itu mengatur masa jabatan Pimpinan DPD.
Jika mengacu pada putusan MA, seharusnya DPD tak melakukan pemilihan pimpinan.
MA berdalih, DPD telah melaksanakan putusan dengan melakukan pemilihan Pimpinan yang baru berdasarkan tata tertib baru yakni Tata Tertib Nomor 3 Tahun 2017 yang dibuat setelah putusan MA keluar pada 29 Maret 2017.
MA, melalui Wakil Ketua sekaligus Pelaksana Harian (Plh) Ketua MA, Suwardi, memandu sumpah jabatan Pimpinan DPD yang baru pada Selasa (4/4/2017) kemarin.
(Baca: Salah Ketik Putusan MA yang Berujung Ribut di Internal DPD)
Inkonsistensi
Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, langkah MA merupakan bentuk inkonsistensi.
Seharusnya, tak ada pemisahan antara putusan hukum yang dikeluarkan MA dengan tugas negara sebagai lembaga yang memandu sumpah jabatan.
"Itu kan dalih saja kalau soal pemisahan antara putusan dan tugas negara sebagai pemandu sumpah jabatan dan di sisi lain seolah ansich sebagai pemberi putusan. Seharusnya kan konsisten dengan putusan, tidak perlu memandu sumpah," ujar Refly, saat dihubungi, Rabu (5/4/2017) malam.
Menurut dia, tak ada alasan bagi MA untuk menyatakan Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD yang baru, dan Nono Sampono serta Darmayanti Lubis sebagai Wakil Ketua DPD merupakan Pimpinan DPD yang sah.
Refly menyatakan, dengan keluarnya putusan MA yang membatalkan aturan masa jabatan Pimpinan DPD selama 2,5 tahun, maka seharusnya masa jabatan pimpinan yang lama berakhir pada 2019.
Dengan demikian, proses pemilihan yang dilakukan setelah keluarnya putusan MA menjadi tidak sah.