JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri, dan Kejaksaan Agung memperbarui nota kesepahaman bersama mengenai penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi.
Ada 15 Pasal yang tercantum dalam nota tersebut.
Ketua KPK Agus Raharjo mengatakan, MoU sebelumnya sudah habis pada 2016 dan baru diperbarui sekarang.
"Akan berlaku sampai Maret 2019, jadi tiga tahun," ujar Agus di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Rabu (29/3/2017).
Agus mengatakan, tak ada hal mendasar yang diubah. Dalam MoU ini, sinergi tiga lembaga penegak hukum itu makin diperkuat dalam penanganan kasus korupsi.
Khususnya dalam pertukaran data dan informasi mengenai kasus-kasus yang ditangani tiga lembaga itu.
Dalam nota tersebut, ada penambahan kesepakatan soal Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) berbasis elektronik.
Selama ini, SPDP dikirim secara manual dan bisa menghabiskan waktu lebih banyak.
"Jadi SPDP ini nanti online, supaya kita di pusat bukan hanya KPK tapi juga Polri dan Kejagung itu mempunyai data dan info yang sama terkait dengan penanganan Tipikor di seluruh Indonesia," kata Agus.
Selain itu, ada juga upaya pencegahan yang dilakukan secara sinergis, yaitu pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara dan pengendalian gratifikasi.
Ada pula kesepakatan mengenai bantuan yang bisa saling diberikan antarlembaga penegak hukum.
"Sering teman-teman di daerah menghadapi kendala pada saat ingin membawa kasus ke persidangan, penghitungan kerugian negara belum tuntas, dan ahli belum," kata Agus.
Nantinya, KPK bisa membantu mengirimkan petugas untuk menghitung kerugian negara dan menghadirkan ahli yang bisa mendampingi.
"Kalau yang lainnya, tukar menukar informasi, capacity building sebelumnya sudah ada, tapi pasti dalam pelaksanaanya perlu kita lebih efektifkan," kata Agus.
Dalam Pasal 3 poin 5 pada MoU tersebut, diatur juga soal pemeriksaan anggota dari salah satu penegak hukum oleh lembaga penegak hukum lain.