Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hindari Kesan Politis dalam Kasus E-KTP, Ini Saran untuk KPK

Kompas.com - 12/03/2017, 07:18 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi harus segera menetapkan tersangka-tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.

Pasalnya, dalam dakwaan, banyak nama yang disebut menerima fee dari proyek tersebut. Terlebih lagi, KPK kerap dianggap politis dengan menyebutkan nama politisi dalam dakwaan.

"Agar tidak dituduh dan ditafsirkan sebagai langkah politis dan ditunggangi kekuatan politik, serta belum memasuki tahun-tahun yang penuh agenda politik, maka sudah sewajarnya KPK menetapkan dan mengajukan segera pihak-pihak yang namanya disebut dalam dakwaan," ujar Fickar melalui keterangan tertulis, Minggu (12/3/2017).

Fickar meyakini dalam penyidikan KPK, setidaknya minimal dua alat bukti telah dikantungi untuk menuliskan keterlibatan seseorang.

Bukti tersebut cukup untuk menetapkan mereka sebagai tersangka. Apalagi, jika bukti dalam persidangan menguatkan dakwaan itu.

"Biarlah pengadilan akan membuktikan apakah nama-nama tersebut benar melakukan perannya sebagaimana disebut dalam dakwaan," kata Fickar.

Dalam dakwaan, ada beberapa nama anggota DPR RI yang beberapa kali namanya disangkutkan dalam kasus korupsi. Namun, beberapa kali lolos.

Fickar mengatakan, jangan sampai dalam kasus e-KTP ini, mereka yang disebutkan menerima uang tersebut bisa lolos dari jeratan.

"Mengingat serangan balik ke KPK mulai dilakukan, karena itu KPK harus gerak cepat," kata Fickar.

Menurut Fickar, salah satu bentuk dimulainya lagi upaya pelemahan KPK yakni dengan melakukan sosialisasi perubahan Undang-Undang KPK.

Selain itu, ia menganggap sepatutnya Presiden Joko Widodo memberhentikan sementara gubernur aktif maupun pihak-pihak yang menjalankan pemerintahan yang disebutkan dalam dakwaan.

"Jika bukti-bukti itu terkonfirmasi melalui saksi-saksi dipersidangan, maka cukup dasar dan alasan hukum untuk memberhentikan mereka secara tetap," kata Fickar.

"KPK sedang diuji independensi dan keberaniannya, karena itu masyarakat harus menjaganya agar tidak dilemahkan bahkan dibubarkan," lanjut dia.

(Baca juga: ICW: Tak Tertutup Kemungkinan KPK Dikriminalisasi Terkait Kasus E-KTP)

Dalam dakwaan, Andi Narogong selaku pelaksana yang ditunjuk langsung mengerjakan proyek e-KTP diketahui beberapa kali melakukan pertemuan dengan Ketua Fraksi Partai Golkar saat itu Setya Novanto, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

Hingga kemudian, Novanto yang kini menjadi Ketua DPR, bersama Andi, Anas, dan Nazaruddin, disebut menyepakati anggaran proyek e-KTP sesuai grand design 2010, yaitu RP 5,9 triliun.

(Baca: Diduga Atur Anggaran, Setya Novanto Tak Masuk Daftar Penerima "Fee" Kasus E-KTP)

Dari anggaran itu, sebesar 51 persen atau Rp 2,662 triliun digunakan untuk belanja modal atau belanja riil pembiayaan proyek e-KTP.

Sedangkan 49 persen atau sebesar Rp 2,558 triliun dibagi-bagi ke sejumlah pihak, termasuk anggota Komisi II DPR RI dan Badan Anggaran DPR RI.

Kompas TV Bukti aliran dana akan menjadi penentu, apakah kasus korupsi KTP elektronik akan menambah daftar panjang pihak yang akan terjerat hukum.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Syaikhu Sebut Koalisi atau Oposisi Itu Kewenangan Majelis Syuro PKS

Syaikhu Sebut Koalisi atau Oposisi Itu Kewenangan Majelis Syuro PKS

Nasional
Jokowi Tak Lagi Dianggap Kader, PDI-P: Loyalitas Sangat Penting

Jokowi Tak Lagi Dianggap Kader, PDI-P: Loyalitas Sangat Penting

Nasional
PPP Buka Peluang Usung Sandiaga Jadi Cagub DKI

PPP Buka Peluang Usung Sandiaga Jadi Cagub DKI

Nasional
Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Nasional
Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Nasional
Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Nasional
PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

Nasional
Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Nasional
Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Nasional
Joman: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Joman: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Nasional
Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Nasional
5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

Nasional
Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Nasional
[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com