Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keputusan MKH terhadap Hakim Napitupulu Dinilai Kontradiktif

Kompas.com - 01/03/2017, 21:38 WIB
Fachri Fachrudin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai, keputusan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) terhadap Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Pekanbaru, Riau, Pangeran Napitupulu tidak sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan.

Dalam sidang etik yang digelar di Mahkamah Agung (MA) pada Selasa (28/2/2017), MKH menilai, Napitupulu terbukti menjadi perantara dalam pengurusan perkara pidana di Pengadilan Negeri (PN) Rantau Prapat, Medan, pada 2009.

Napitupulu menerima uang senilai Rp 1 miliar yang kemudian dialokasikan ke sejumlah pihak pengadilan, termasuk untuk dirinya. Atas tindakannya itu, MKH memberi keputusan pemecatan dengan hormat terhadap Napitupulu.

Menurut Feri, jika seorang hakim terbukti melakukan pelanggaran etik berat, maka ia sedianya dijatuhi vonis pemecatan tidak dengan hormat.

"Semestinya sudah jelas, kalau sudah terpenuhi unsur pelanggaran etiknya itu pelanggaran berat, maka seharusnya (pemecatan) tidak dengan hormat. Ini kontradiktif," kata Feri usai mengikuti diskusi di bilangan Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (1/3/2017).

Menurut Feri, MKH harus lebih tegas dalam memberikan putusan terhadap hakim-hakim yang bermasalah, bukan justru melindunginya dengan memberi keputusan yang meringankan.

Menurut Feri, semestinya jika sudah terbukti ada unsur pidana yang dilanggar oleh hakim tersebut, maka proses hukum pidana sedianya juga dijalankan MA.

"Jadi, jangan sampai model peradilan etik sampai jadi ruang penyelamatan bagi proses pidana. Jangan dihukum etik kemudian dia dibebaskan pidana, apalagi diberhentikan dengan hormat," kata peneliti Center for International and Alumni Relation (CIAR) tersebut.

Napitupulu sebelumnya diduga menerima uang sebesar Rp 1 miliar dari pihak yang berperkara di Pengadilan Negeri Rantau Prapat, Sumatera Utara, pada 2009. Saat itu, ia masih bertugas sebagai Ketua Pengadilan Negeri Buntok, Kalimantan Tengah.

Uang tersebut diberikan secara berangsur dalam satu hari. Rinciannya, pembayaran pertama Rp 50 juta, pembayaran kedua sebesar Rp 300 juta, pembayaran ketiga sebesar Rp 500 juta, dan pembayaran keempat sebesar Rp 150 juta.

Kemudian pada 2014, Napitupulu dilaporkan ke KY oleh pihak pemberi uang tersebut. Saat itu, Napitupulu sudah bertugas sebagai hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) Jambi.

Kasus pengurusan perkara oleh Napitipulu baru disidangkan di MKH sekitar akhir 2016. Sementara itu, Napitupulu sudah bertugas di Pengadilan Tinggi Pekanbaru, Riau.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Perintah 'Tak Sejalan Silakan Mundur', SYL: Bukan Soal Uang, Tapi Program

Soal Perintah "Tak Sejalan Silakan Mundur", SYL: Bukan Soal Uang, Tapi Program

Nasional
Rosan Ikut di Pertemuan Prabowo-Elon Musk, Bahas Apa?

Rosan Ikut di Pertemuan Prabowo-Elon Musk, Bahas Apa?

Nasional
[POPULER NASIONAL] MPR Bakal Temui Amien Rais | Anies Pertimbangkan Maju Pilkada Jakarta

[POPULER NASIONAL] MPR Bakal Temui Amien Rais | Anies Pertimbangkan Maju Pilkada Jakarta

Nasional
MK Putus 207 Sengketa Pileg Hari Ini hingga Besok

MK Putus 207 Sengketa Pileg Hari Ini hingga Besok

Nasional
Tanggal 24 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 24 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Anies Pertimbangkan Maju Pilkada DKI, PKS: Kita Lagi Cari yang Fokus Urus Jakarta

Anies Pertimbangkan Maju Pilkada DKI, PKS: Kita Lagi Cari yang Fokus Urus Jakarta

Nasional
Momen Menarik di WWF Ke-10 di Bali: Jokowi Sambut Puan, Prabowo Dikenalkan sebagai Presiden Terpilih

Momen Menarik di WWF Ke-10 di Bali: Jokowi Sambut Puan, Prabowo Dikenalkan sebagai Presiden Terpilih

Nasional
Perkenalkan Istilah ‘Geo-cybernetics’, Lemhannas: AI Bikin Tantangan Makin Kompleks

Perkenalkan Istilah ‘Geo-cybernetics’, Lemhannas: AI Bikin Tantangan Makin Kompleks

Nasional
Megawati Disebut Lebih Berpeluang Bertemu Prabowo, Pengamat: Jokowi Akan Jadi Masa Lalu

Megawati Disebut Lebih Berpeluang Bertemu Prabowo, Pengamat: Jokowi Akan Jadi Masa Lalu

Nasional
Laporkan Dewas ke Bareskrim, Wakil Ketua KPK Bantah Dirinya Problematik

Laporkan Dewas ke Bareskrim, Wakil Ketua KPK Bantah Dirinya Problematik

Nasional
Kolaborasi Pertamina–Mandalika Racing Series Dukung Pembalap Muda Bersaing di Kancah Internasional

Kolaborasi Pertamina–Mandalika Racing Series Dukung Pembalap Muda Bersaing di Kancah Internasional

Nasional
Harkitnas, Fahira Idris Tekankan Pentingnya Penguasaan Iptek untuk Capai Visi Indonesia Emas 2045

Harkitnas, Fahira Idris Tekankan Pentingnya Penguasaan Iptek untuk Capai Visi Indonesia Emas 2045

Nasional
Sempat Sebut Lettu Eko Meninggal karena Malaria, Dankormar: Untuk Jaga Marwah Keluarga

Sempat Sebut Lettu Eko Meninggal karena Malaria, Dankormar: Untuk Jaga Marwah Keluarga

Nasional
Yasonna Berharap Program PPHAM Dilanjutkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran

Yasonna Berharap Program PPHAM Dilanjutkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Di WWF 2024, Jokowi Ajak Semua Pihak Wujudkan Tata Kelola Air yang Inklusif dan Berkelanjutan

Di WWF 2024, Jokowi Ajak Semua Pihak Wujudkan Tata Kelola Air yang Inklusif dan Berkelanjutan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com