JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Saldi Isra menilai proses seleksi yang transparan tak menjadi jaminan akan menghasilkan hakim Mahkamah Konstitusi yang bersih.
Saldi mengatakan, rekrutmen hakim MK periode pertama (2003-2008) juga dilakukan secara tidak transparan. Saat itu, hanya tiga hakim yang dipilih DPR diseleksi secara terbuka.
Sementara tiga hakim yang diusulkan pemerintah dan tiga hakim yang diusulkan oleh Mahkamah Agung tidak jelas proses seleksinya. Namun, seluruh hakim MK di periode pertama berhasil menyelesaikan tugas mereka tanpa terjerat oleh kasus hukum.
"Pada akhirnya hakim MK di periode pertama tidak ada yang mengatakan mereka tidak negarawan," kata Saldi dalam diskusi di Jakarta, Rabu (8/2/2017).
(Baca: Menkumham: Mundurnya Patrialis Percepat Proses Seleksi Hakim MK)
Bahkan, lanjut Saldi, hakim MK periode pertama yang dipimpin Jimly Asshiddiqie tidak hanya bersih dari korupsi. Putusan-putusan yang dibuat juga jauh lebih berkualitas apabila dibandingkan dengan putusan yang dibuat MK saat ini.
"Kalau baca putusan MK periode pertama itu seperti baca disertasi," kata Saldi.
Saldi mengaku setuju apabila proses rekrutmen hakim diperbaiki. Namun ia menilai, kuncinya adalah pada sosok hakim MK yang dipilih. Butuh sosok negarawan yang siap mengabdi kepada negara. Dengan begitu, kasus hukum yang menjerat Hakim MK diharapkan tidak kembali terulang.
"Sosok yang ditunjuk sebagai hakim harus melihat hal itu bukan profesi, tapi sebuah kepercayaan," kata dia.
(Baca: Seleksi Hakim MK Pengganti Patrialis Libatkan KPK dan PPATK)
Beberapa waktu lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap hakim MK Patrialis Akbar. Patrialis ditangkap setelah diduga menerima suap senilai 20.000 Dollar AS dan 200.000 Dollar Singapura, atau senilai Rp 2,15 miliar.
Pemberian dari pengusaha impor daging Basuki Hariman tersebut diduga agar Patrialis membantu mengabulkan gugatan uji materi yang sedang diproses di Mahkamah Konstitusi. Perkara gugatan yang dimaksud yakni, uji materi nomor 129/puu/XII/2015 terkait Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Sementara pada 2013 lalu, Ketua MK saat itu Akil Mochtar juga ditangkap KPK. Akil ditangkap karena menerima suap perkara perselisihan hasil pemilihan umum.