JAKARTA, KOMPAS.com - Program Bela Negara yang diinisiasi oleh Kementerian Pertahanan dinilai belum memiliki landasan hukum. Belum adanya regulasi yang jelas dinilai sebagai salah satu alasan program tersebut menimbulkan kontroversi.
"Setelah amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945, ditetapkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Maka segala kebijakan pemerintah harus berlandaskan hukum," ujar koordinator peneliti Imparsial Ardi Manto di Kantor Imparsial, Jakarta, Selasa (10/1/2017).
Menurut Ardi, secara prinsip program bela negara yang dijalankan Kementerian Pertahanan tidak berlandaskan pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Ayat 3 dalam Pasal 9 tersebut menjelaskan bahwa program pemerintah seperti bela negara harus diatur melalui regulasi setingkat undang-undang.
Namun, Kementerian Pertahanan menyatakan pendapat berbeda.
Dalam wawancara dengan Kompas.com beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan Timbul Siahaan menyatakan tidak perlu menunggu rancangan undang-undang baru untuk melaksanakan program bela negara.
Program tersebut dinilai Timbul telah memiliki payung hukum.
Menurut Timbul, Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib untuk melaksanakan bela negara.
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dicantumkan bahwa upaya bela negara adalah sikap dan perilaku setiap warga negara.
(Baca juga: Kemhan: Setiap Warga Negara dan Ormas Berhak Ikut Program Bela Negara)
Meski demikian, menurut Ardi, konstitusi dalam UUD 1945 merupakan norma acuan.
Sementara untuk menentukan kebijakan pemerintah, diperlukan suatu turunan konstitusi berupa regulasi setingkat undang-undang.
"Tidak adanya landasan hukum membuat konsep dan tujuan program menjadi tidak jelas," kata Ardi.
Imparsial memandang kontroversi kegiatan bela negara yang melibatkan organisasi masyarakat seperti yang terjadi di Lebak, Banten, beberapa waktu lalu merupakan akibat dari tidak adanya landasan hukum yang kuat.
Hasilnya, program tersebut tidak memiliki ukuran dan prasyarat yang jelas.
Bahkan, program tersebut dinilai berpotensi menyasar pada pembentukan kelompok paramiliter atau milisi yang mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.
(Baca: Belajar dari Kasus Ormas Ikut Bela Negara, Ini Kebijakan Pemerintah)