JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) memahami bahwa isu mengenai masa jabatan hakim MK merupakan hal sensitif untuk dibahas.
Apalagi, jika uji materi terkait hal tersebut diajukan ke MK.
"Wajar kalau kemudian memunculkan pendapat bahwa mengadili norma tersebut dapat bertentangan dengan asas umum bahwa hakim tidak boleh menyidangkan hal atau perkara yang terkait dirinya (nemo judex in causa sua) dan juga anggapan akan timbul conflict of interest," ujar juru bicara MK, Fajar Laksono saat dihubungi, Jumat (9/12/2016).
Namun, sedianya publik juga memahami bahwa perkara yang ditangani MK adalah perkara konstitusional.
"MK adalah peradilan konstitusi, yang proses peradilan, putusan, dan implikasi putusannya tentu saja berbeda dengan putusan pengadilan biasa," kata dia.
Selain itu, menjadi kewenangan MK menguji aturan yang tertuang dalam pasal di suatu undang-undang jika ada warga negara yang merasa haknya dirugikan dengan adanya aturan tersebut.
Kemudian, lanjut Fajar, Hakim Konstitusi dipilih oleh pemerintan, DPR, dan MA dengan sistem seleksi yang ketat dan harus memahami ketatanegaraan.
Dengan kemampuannya yang dimiliki, tentu Hakim Konstitusi mempertimbangkan banyak hal sebelum memberikan keputusan di setiap uji materi.
Hal ini demi tegaknya keadilan dan konstitusi. MK, kata Fajar, meminta publik percaya atas putusan yang nanti dibuatnya.
"Dengan kapasitas demikian, dengan independensi yang dimiliki, maka percayalah dan biarkan Hakim Konstitusi memutus perkara tersebut sesuai dengan keyakinan, preferensi, dan penguasaannya terhadap konstitusi," kata dia.
(Baca juga: Alasan MK Tetap Memproses Sidang Uji Materi Masa Jabatan Hakim MK)
Gugatan uji materi perpanjangan masa jabatan Hakim MK yang diajukan Centre of Strategic Studies University of Indonesia (CSS UI) terdaftar di MK dengan nomor perkara 73/PUU-XIV/2016.
CSS UI beralasan bahwa ketentuan masa jabatan hakim MK yang hanya dapat dipilih selama dua periode ini diskriminatif jika dibandingkan dengan masa jabatan hakim MA, yakni hingga 70 tahun.
(Baca: CSS UI: Yang Kami Mohon ke MK adalah Masa Jabatan Hakim Hingga Pensiun)
Adapun masa perpanjangan hakim MK diatur dalam Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.
Namun dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan pasal yang mengatur jabatan hakim MK ini bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penambahan satu kursi pimpinan DPR untuk PDI-P rencananya akan dilakukan melalui revisi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.