JAKARTA, KOMPAS.com – Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, musibah banjir besar yang melanda sejumlah wilayah di Tanah Air tidak terlepas dari berkurangnya jumlah areal hutan yang dimiliki Indonesia.
Dari sekitar 150 juta hektar lahan perhutanan yang dimiliki Indonesia pada 1955, saat ini yang tersisa kurang dari 90 juta hektar.
“Ada banyak faktor kenapa hutan kita berkurang sekitar 40 persen atau mungkin 50 persen dari 150 juta pada tahun 1950-an. Yang saya maksud adalah hutan riil, bukan hutan yang terdaftar,” kata Wapres saat Kongres Kehutanan Indonesia VI di Jakarta, Rabu (30/11/2016).
Pertumbuhan jumlah penduduk, menurut Wapres, menjadi salah satu faktor penentu berkurangnya jumlah areal hutan.
(Baca: Kantor dan Sekolah di Aceh Singkil Masih Terendam Banjir hingga 1 Meter)
Di era 1950-an, kata dia, saat itu jumlah penduduk Indonesia baru sekitar 90 juta orang. Kini, jumlah itu naik hingga dua setengah kali lipat menjadi sekitar 250 juta jiwa.
Pertumbuhan jumlah penduduk membuat kebutuhan atas sumber makanan yang harus dipenuhi juga bertambah.
Akibatnya, pembukaan areal lahan hutan untuk ditanami bahan kebutuhan makanan tidak bisa terelakkan.
Di samping itu, pertumbuhan penduduk juga mengakibatkan pembukaan lahan untuk kawasan pemukiman.
“Akibatnya kita transmigrasi besar-besaran, sehingga hutan semua dibuka hutan di daerah-daerah. Itu yang pertama yang mengurangi jumlah hutan itu, penduduk,” kata dia.
Selain penduduk, bisnis kehutanan juga dinilai menjadi penyumbang kerusakan hutan terbesar.
Di era 1970-an, kata Wapres, seorang pengusaha tidak akan merasa berpengaruh apabila tidak memiliki konsesi hutan hingga satu juta hektar.
Ironisnya, terkadang banyak pengusaha yang memiliki hak pengusahaan hutan (HPH) justru menjualnya ke para konglomerat hutan.
“Dengan bangga menjadi pengekspor kayu, triplek dan sebagainya. Dengan harga yang hanya 5 dollar per kubik. Akibatnya, hari ini banjir dan panas di Kalimantan, Sumatera dan sebagainya,” ujarnya.
(Baca: Tunggu Banjir Surut, Sejumlah Warga Solo Cari Ikan Pakai Alat Setrum)
Lebih jauh, Wapres juga menyoal polah pengusaha tambang yang kerap tidak mereboisasi kembali hutan yang mereka buka. Izin usaha pertambangan itu banyak diberikan daerah ketika era otonomi bergulir.
Memang, kata dia, perusahaan memberikan fee atas keuntungan yang mereka peroleh dari usaha pertambangan.
Namun, fee tersebut juga tidak digunakan untuk memperbaiki kondisi hutan yang rusak oleh daerah.
“Sehingga, saya marah waktu tahun 2003. Karena harga batu bara begitu tinggi, semua dilalah daerah-daerah itu,” ujarnya. “Kita semua yang menghabiskan hutan ini. Itu lah semua yang efeknya banjir dimana-mana,” lanjut dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.