JAKARTA, KOMPAS.com — Kegaduhan yang terjadi di media sosial dinilai bisa merambat ke dunia nyata jika tidak segera diatasi.
Perbincangan yang terdapat di media sosial berpotensi mengonstruksi pemahaman publik mengenai suatu hal dalam kehidupan masyarakat.
"Kegaduhan di media sosial akan sampai ke kehidupan riil. Media sosial ini membentuk konstruksi pemaknaan tentang asumsi sosial kita," ujar pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, Puspitasari, dalam diskusi di Sekretariat Para Syndicate, Jakarta, Jumat (18/11/2016).
Puspitasari mengatakan, kegaduhan yang terjadi di media sosial kerap menggunakan sentimen identitas yang bertujuan menghujat.
Ini, kata dia, dapat melunturkan semangat kemajemukan yang menjadi landasan masyarakat dalam berbangsa.
(Baca: Polarisasi Opini di Media Sosial Meningkat Saat Pilkada)
"Pada akhirnya konsep kita tentang kebinekaan juga dapat didekonstruksi oleh argumen-argumen di media sosial," ucap Puspitasari.
Untuk itu, Puspitasari meminta pemerintah segera mengantisipasi masalah tersebut. Puspitasari mengatakan, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) harus dapat merumuskan konsep yang tepat dalam mengantisipasi terjadinya kegaduhan di media sosial.
Itu dilakukan agar penegakan hukum di media sosial tidak merusak semangat kebebasan berekspresi dalam demokrasi.
"Web-nya harus ditutup atau hanya kontennya yang ditutup, itu harus jadi pertimbangan oleh Kemenkominfo," kata Puspitasari.
Selain itu, pemerintah juga harus mampu merumuskan konsep pendidikan literasi berbasis multikulturalisme kepada masyarakat.
Puspitasari menuturkan, konsep tersebut penting untuk mengikis isu primordialisme yang marak terjadi di media sosial.
(Baca: Media Sosial Kerap Digunakan untuk Mendominasi Opini Publik dalam Kontes Politik)
"Basisnya tadi menarik kembali ke konsep kebinekaan. Konsep primordialitas itu harus perlahan dikikis dan ditarik kembali ke konsep kebinekaan lewat model pendidikan," ucap Puspitasari.
Menurut Puspitasari, berbagai institusi pendidikan dan agama harus turut andil bersama pemerintah dalam merumuskan konsep tersebut.
Dengan demikian, kerukunan berbangsa masyarakat Indonesia dapat dipelihara sebaik mungkin.
"Hal itu harus melibatkan banyak institusi, baik pendidikan maupun agama. Semua pihak harus duduk bersama merumuskan model yang bisa menarik kebinekaan yang sudah dirusak ini kembali pada posisi semula," kata Puspitasari.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.