JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah di bawah kendali Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dinilai belum mampu menepati janjinya membikin peraturan perundang-undangan yang berkualitas selama dua tahun menjabat.
Khususnya, aturan yang memperjelas politik legislasi yang berpihak pada pemberantasan korupsi, penegakan HAM, dan reformasi lembaga penegak hukum.
"Pemerintah berjanji akan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang kontributif terhadap kemajuan HAM dan penghapusan korupsi. Tetapi dari beberapa RUU yang disebutkan dalam agenda prioritas, sampai dua tahun belum ada pembahasan serius," ujar Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani di Kantor Setara Institute, Jakarta, Minggu (23/10/2016).
Ismail mengatakan, belum ditepatinya janji tersebut disebabkan belum adanya pembahasan serius mengenai RUU Perampasan Aset, RUU Kerja Sama Timbal Balik, dan RUU Pembatasan Transaksi Tunai oleh pemerintah dan DPR.
Hingga kini, lanjut Ismail, pemerintah bersama DPR hanya mampu menghasilkan 25 Undang-undang (UU) dan dua Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) selama dua tahun.
"Presiden seringkali pasif, padahal memiliki kewenangan luar biasa di dalam menata arah politik hukum nasional kita. Jadi kalau kita sering mengkritik DPR membuat kebijakan buruk, jangan lupa kalau pemerintah juga punya kontribusi," ucap Ismail.
Selain itu, kata Ismail, korupsi legislasi dalam bentuk suap atau memperdagangkan pengaruh masih marak terjadi.
"Masih banyak gambaran korupsi legislasi terjadi di berbagai daerah. Praktik perdagangan pengaruh ini masih sering terjadi," tutur Ismail.
Menurut Ismail, pemerintah hingga saat ini masih belum memberikan perhatian serius untuk mengatasi korupsi legislasi.
Pemerintah, lanjut Ismail, belum memiliki prosedur yang jelas untuk mencegah terjadinya praktik perdagangan pengaruh dalam pembuatan regulasi.
"Pemerintah tidak memiliki mekanisme yang jelas untuk mencegah korupsi legislasi," kata Ismail.