Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peradilan Amburadul, Hukuman Mati Dinilai Tak Pantas Diterapkan di Indonesia

Kompas.com - 08/09/2016, 14:22 WIB
Dimas Jarot Bayu

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menjelaskan ada beberapa masalah terkait sistem peradilan Indonesia bagi terpidana mati.

Masalah tersebut, yakni minimnya akses bantuan hukum, minimnya pembuktian dari jaksa, penyidikan yang eksesif, sampai dengan inkonsistensi putusan hakim.

Selain itu, terdapat pula masalah karena terjadi penyiksaan saat proses penyidikan, kesalahan prosedur pemidanaan terhadap korban perdagangan orang, hingga kejanggalan aturan.

"Sesungguhnya masih banyak sekali catatan terkait pelanggaran jaminan fair trial yang terjadi dalam kasus-kasus hukuman mati. Semuanya berjejer di Indonesia," ujar Erasmus saat diskusi Hukuman Mati VS Fair Trial di Indonesia di Plaza indonesia, Jakarta, Kamis (8/9/2016).

(Baca: Menko Polhukam: Kebijakan Penerapan Hukuman Mati Tidak Perlu Dievaluasi)

Erasmus memberi contoh, pemberian vonis hukuman mati yang menjerat Yusman Telaumbanua pada 2013 ternyata tak ditelusuri dengan matang oleh pihak kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan.

Pasalnya, ketika ditetapkan vonis, Yusman Telaumbanua masih berusia 16 tahun. Ini dilihat dari akta baptis Yusman yang menyatakan dia dilahirkan pada 5 November 1995 silam serta hasil forensik gigi.

"Permasalahannya, Yusman sebelum pengadilan tidak pernah didampingi kuasa hukum. Pada saat di sidang, jaksa minta didakwa seumur hidup, kuasa hukumnya justru meminta Yusman dihukum mati," lanjut Erasmus.

Selain itu, tambah Erasmus, dalam beberapa kasus terdapat situasi yang mengingkari prinsip fair trial dalam pengadilan, seperti ketika Mahkamah Agung (MA) menentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pembatasan peninjauan kembali (PK) dengan menerbitkan SEMA 1/2012 dan SEMA 7/2014.

(Baca: Hukuman Mati Timbulkan Efek Jera Dianggap Hanya Mitos)

Menurut Erasmus, penentangan putusan MK terkait pembatasan PK ini diindikasi sebagai langkah untuk memperlancar hukuman mati bagi para terpidana.

"Hal ini pada intinya menegaskan bahwa permohonan PK atas dasar ditemukannya bukti baru hanya dapat diujikan satu kali. Ini memberatkan terpidana hukuman mati," ucap Erasmus.

Dengan adanya contoh tersebut, Erasmus menilai pemberian vonis hukuman mati dalam sistem peradilan di Indonesia belum tepat diterapkan. Pasalnya, sistem peradilan Indonesia masih belum ideal sehingga seringkali hukuman mati diputuskan tanpa mempertimbangkan prinsip fair trial.

"Logika kami, Anda tidak bisa menjalankan hukuman mati ketika sistem peradilan kita belum menerapkan asas fair trial," kata Erasmus.

Kompas TV Maju Mundur Hukuman Mati - Berkas Kompas Episode 231 Bagian 3
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com