JAKARTA, KOMPAS.com - Manajer bidang Advokasi dan Investigasi Fitra, Apung Widadi menilai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak atau tax amnesty, kontraproduktif dengan gerakan antikorupsi.
Menurutnya ada indikasi bahwa jika seseorang terlibat kasus perpajakan dan kasusnya sudah masuk proses penyelidikan, kemudian orang tersebut mengajukan pengampunan pajak, maka proses penyelidikannya bisa tidak dilanjutkan.
"Dengan begitu UU pengampunan pajak kontraproduktif dengam semangat pemberantasam korupsi dan penegakan hukum," ujar Apung saat memberikan keterangan pers di gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (31/8/2016).
Apung pun menyebut UU pengampunan pajak merupakan sebuah upaya untuk mendelegitimasi upaya pemberantasan korupsi.
Pasalnya dalam UU tersebut tidak ada ketentuan soal verifikasi asal harta. Artinya, harta kekayaan yang berasal dari korupsi, illegal logging, narkoba dan tindak pidana lainnya akan dianggap sama.
Selain itu juga terdapat indikasi UU pengampunan pajak bisa digunakan untuk pencucian uang.
(Baca: Hakim MK Minta Permohonan Gugatan Uji Materi UU "Tax Amnesty" Dipertajam)
"Ketika petugas diancam dan partisipasi masyarakat dibunuh dengan ancaman pidana jika membocorkan data pemohon pengampunan pajak. Padahal ini prinsip transparansi yang harusnya dijunjung," kata Apung.
Dalam kesempatan yang sama Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak melihat UU Tax Amnesty mengandung pemufakatan jahat.
Dahnil menjelaskan, awalnya UU Tax Amnesty diusulkan oleh pemerintah dengan nama UU Pengampunan Nasional.
Dia pun menyebut UU tersebut awalnya dibuat untuk memberikan pengampunan kepada tersangka kasus korupsi apabila bisa mengembalikan kerugian negara yang dikorupsi.
"Kalau diperhatikan secara kronologis UU Tax Amnesty bermula dari UU Pengampunan Nasional bersamaan dengan pengajuan revisi UU KPK. Itu tujuannya jelas mengampuni dosa-dosa koruptor," ungkap Dahnil.