”Obral soal moral, omong keadilan, sarapan pagiku. Aksi tipu-tipu, lobi dan upeti, woo jagonya. Maling kelas teri, bandit kelas coro, itu kantong sampah. Siapa yang mau berguru, datang padaku, sebut tiga kali namaku. Bento…bento...bento…asik.”
Lantunan lagu ”Bento” karya Iwan Fals itu dinyanyikan Alexander Marwata dengan penuh semangat, Jumat (19/8) malam. Tidak sekadar menyanyi, Marwata juga bergoyang lepas, menyesuaikan dengan irama lagu itu.
Marwata malam itu menyumbang dua lagu, ”Bento” dan ”Karmila”, menghibur peserta acara pertemuan antara wartawan peliput KPK dan pimpinan KPK di bumi perkemahan Tanakita, Sukabumi, Jawa Barat.
Selain Marwata, acara itu juga dihadiri Ketua KPK Agus Rahardjo serta Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dan Saut Situmorang. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif berhalangan hadir karena menjadi pembicara kunci dalam APEC Anti Corruption Summit di Lima, Peru.
Mengenakan celana jins, baju kaus berbalut jaket kulit dan topi putih, Marwata seolah tampil sebagai sosok berbeda dari kesehariannya sebagai wakil ketua KPK. Dalam berbagai kegiatan KPK, Marwata biasanya berpembawaan anteng dan irit berbicara.
Kebiasaan berubah
Lima pimpinan KPK periode 2015-2019 sudah delapan bulan menjadi nakhoda institusi anti rasuah itu. Bekerja sebagai nakhoda di lembaga yang menjadi simbol sekaligus soko guru pemberantasan korupsi di Indonesia membuat lampu sorot mengarah ke mereka.
Akibatnya, ada kebiasaan-kebiasaan yang kini harus mereka korbankan karena alasan keamanan atau etika.
Bagi Marwata, tak sulit menyesuaikan diri dengan ritme dan tuntutan pekerjaan sebagai pimpinan KPK. Namun, bagi mantan auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dan hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta itu, hal yang paling sulit justru saat beralih moda transportasi.
Marwata mengaku sudah hampir 20 tahun menjadi ”anker” alias anak kereta, pengguna moda transportasi kereta api.
Saat masih menjadi hakim Pengadilan Tipikor Jakarta 2012-2015, ia menaiki kereta komuter dari Stasiun Jurangmangu, tak jauh dari rumahnya di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, menuju Stasiun Tanah Abang.
Dari Stasiun Tanah Abang, ia kemudian pindah kereta menuju Stasiun Dukuh Atas (kini Sudirman). Saat itu, Pengadilan Tipikor masih berada di kawasan Kuningan.
”Penyesuaian paling sulit itu harus berangkat naik mobil. Bagi saya, itu malah lebih berat dari pekerjaan itu (pimpinan KPK) sendiri,” kata Marwata.
Marwata mengaku tak boleh naik kereta komuter menuju gedung KPK di Kuningan. Ia sempat ”membujuk” ajudannya untuk sama-sama naik kereta komuter guna menghindari kemacetan lalu lintas. Namun, dengan alasan keamanan, permintaan itu tak bisa dikabulkan.
”Macetnya itu bikin saya bludreg (tekanan darah tinggi). Stres saya. Itu yang paling berat,” kata Marwata sambil tertawa lepas.