JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai permasalahan dwi kewarganegaraan yang dialami oleh mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar, tidak dijadikan pemicu untuk merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
"Pak Arcandra isunya WNI yang kehilangan warga negara lalu menjadi pejabat publik. Kalau di UU Kewarganegaraan tidak ada seperti itu. Ini tidak bisa menjadi pemicu apalagi untuk mengakomodasi Dwi kewarganegaraan," kata Hikmahanto dalam sebuah diskusi di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (19/8/2016).
Menurut Hikmahanto, wacana mengakomodasi dwi kewarganegaraan harus dilakukan secara hati-hati. Meski pemerintah nantinya mengamini dwi kewarganegaraan, kata dia, harus dilakukan secara selektif.
"Banyak masalah ketika WNA mau jadi WNI. Ketika mengalami kesulitan mau tidak pemerintah turun tangan," ucap Hikmahanto.
(Baca: Menimbang Kewarganegaraan Ganda)
Hikmahanto menilai pemerintah hanya akan menghabiskan energi dan anggaran bila mengakomidasi dwi kewarganegaraan tanpa proses selektif.
"Belum lagi adanya masalah dwi kewarganegaraan bisa dimanfaatkan untuk kejahatan. Pemerintah harus melakukan kajian secara mendalam," ujar Hikmahanto.
Arcandra diberhentikan secara hormat oleh Presiden Jokowi terkait dwi kewarganegaraan yang dimilikinya. Sebagai pengganti kekosongan posisi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Presiden Jokowi menunjuk Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menko Kemaritiman sampai ada menteri ESDM definitif.
(Baca: Ini Sejumlah Poin yang Diusulkan Direvisi pada UU Kewarganegaraan)
Pihak Istana Kepresidenan tidak mau disebut kecolongan karena Arcandra Tahar yang memiliki dwi kewarganegaraan bisa terpilih sebagai menteri. Arcandra dilantik sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral oleh Presiden Joko Widodo pada reshuffle atau perombakan kabinet jilid II pada akhir Juli 2016 lalu.
Namun, belakangan baru diketahui bahwa Arcandra berstatus warga negara Amerika Serikat dan langsung diberhentikan oleh Presiden Jokowi.
Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi Sapto Prabowo meminta publik tidak melihat hal ini sebagai kecolongan. Ia justru berharap publik bisa mengapresiasi sikap Jokowi yang responsif mendengar berbagai kritik dan masukan yang berkembang.