Suatu hari, beberapa anak muda berkunjung ke Yayasan Sayap Ibu di Bintaro, Jakarta Selatan. Mereka datang dengan membawa berbagai perangkat fotografi.
Tujuan mereka hanya satu, merasakan hidup bersama anak-anak penyandang disabilitas salama sehari penuh, sambil membuat karya jurnalistik.
Anak-anak muda itu adalah mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara yang tergabung di dalam komunitas UMN Juice. Dengan berbekal izin dari pengurus, mereka mulai menjadi “penghuni” yayasan dan mendokumentasikan semua kegiatan secara visual.
Konsep eksibisi karya jurnalistik juga mereka diskusikan bersama pengurus yayasan. Hasilnya adalah sebuah pameran yang sama sekali tidak menampilkan keterbatasan, namun kelebihan.
Ya, karya jurnalistik yang mereka tayangkan di penghujung 2015 itu bukanlah karya tentang pesimisme, namun optimisme. Mereka menampilkan karya anak-anak penyandang disabilitas yang penuh semangat dalam menjalani hidup.
Anak-anak muda itu telah memberikan pelajaran, paling tidak kepada saya, bahwa jurnalisme bisa hadir dalam wajah berbeda. Ia bisa hadir dengan ramah dengan berbagai cerita bahagia dan menggugah.
Para mahasiswa ini sadar bahwa topik tentang disabilitas sering kali terpinggirkan dari halaman surat kabar, layar televisi dan gawai. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk mengangkatnya ke permukaan.
Pemenuhan hak
Keputusan anak-anak muda itu untuk mengusung konsep “optimisme” dalam membuat karya jurnalistik tentu bukan datang dengan tiba-tiba. Bisa jadi, mereka terinspirasi oleh materi liputan beberapa media massa tentang topik disabilitas.
Sejumlah media sering mengulas hal serupa, misalnya prestasi dan kegigihan mereka yang menyandang disabilitas. Apakah hal tersebut salah? Tentu tidak. Namun, apakah hal itu cukup? Jawabannya juga tidak. Ya, tidak cukup.
Meliput disabilitas sebaiknya tidak hanya dari sisi “pencapaian”, namun juga dari sisi pemenuhan hak para penyandangnya.
Itu berarti media harus menajamkan penglihatan dan pendengaran untuk mencegah atau memperbaiki pelanggaran hak penyandang disabilitas. Fungsi pers sebagai penjaga hak publik diuji di sini.
Selama ini, niat tulus pers dalam meliput topik disabilitas “hanya” didasari nurani. Belum ada pedoman khusus yang menjadi pijakan.
Di sini, “Reporting on Disability: Guidelines For Media” diperlukan. Dokumen yang diluncurkan oleh International Labour Organization (ILO) itu berisi pedoman bagi jurnalis yang meliput topik disabilitas.
Sepertinya ILO tidak bisa tinggal diam ketika sekitar satu miliar penduduk bumi semakin terpinggirkan, hanya karena mereka menyandang disabilitas.