JAKARTA, KOMPAS.com - Perwakilan Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri Kombes Faisal Thayib menyatakan Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme saat ini minim aspek pencegahan.
Hal itu disampaikan saat mengikuti Rapat Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/6/2016).
"Kami sering mengikuti tersangka teroris yang sebelum tertangkap mereka melakukan latihan menembak dan membuat bom, tapi karena kami baru bisa menangkap mereka saat hendak melakukan aksi, ya pas mereka latihan itu kami cuma bisa tonton saja," ujar dia.
Dia mengatakan, kondisi tersebut tentunya mempersulit kinerja Densus 88 untuk menekan tindak pidana terorisme di lapangan.
Padahal, menurut Faisal, dengan dimasukannya Densus 88 dalam upaya pencegahan, maka jumlah korban saat penindakan bisa diminimalkan.
"Dalam kondisi seperti itu tentunya kami tak bisa bekerja optimal, dan potensi jatuhnya korban pun jauh lebih tinggi," kata dia.
"Karena itu kami harap di dalam revisi UU terorisme ini, dimasukan pula aspek pencegahan bagi kami, sehingga korban bisa diminimalisir dan terorisme tak menyebar dengan bebas," lanjut dia.
Pemerintah mengajukan revisi UU Anti-Terorisme pascaserangan teroris di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta pada Januari 2016.
Pemerintah mengaku sudah mendeteksi pergerakan kelompok teroris sebelum serangan. Namun, aparat tidak dapat melakukan penangkapan karena terkendala aturan. (baca: BIN Akui Sudah Mendeteksi Potensi Teror ISIS Sejak November 2015)
Pemerintah ingin ada aturan yang memberi ruang untuk melakukan pencegahan. Sejumlah aturan dimasukkan dalam draf revisi UU Anti-Terorisme.
Misalnya, dalam Pasal 43A draf RUU Anti-Terorisme disebutkan bahwa "penyidik atau penuntut umum dalam rangka penanggulangan dapat mencegah orang yang diduga akan melakukan tindak pidana terorisme untuk dibawa dan ditempatkan pada tempat tertentu dalam waktu paling lama 6 bulan."
Ada pula pengaturan tentang ancaman pidana bagi mereka yang hasil karyanya digunakan untuk pelatihan terorisme.
Dalam draf berbunyi setiap orang yang membuat, mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik tertulis maupun digital yang diketahui atau patut diketahuinya digunakan atau yang akan digunakan untuk pelatihan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama dua belas tahun.
Adapun pelatihan yang dimaksud pada Ayat (1) adalah pelatihan militer, paramiliter, atau pelatihan lain untuk merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan terorisme.