JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua DPR Ade Komarudin mengatakan, meski memakan waktu lama, pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah belum sepenuhnya rampung.
Ade menilai masih ada beberapa pasal yang perlu mendapatkan penjelasan tambahan melalui peraturan turunan, yang nantinya akan dibuat oleh Komisi Pemilihan Umum.
"Misalnya tentang politik uang. KPU nanti bikin peraturan yang lebih detil dan tidak boleh bertentangan dengan UU (Pilkada)," kata Ade di Kompleks Parlemen, Jumat (3/6/2016).
Ia mengaku bahwa pembahasan dan pengesahan UU Pilkada yang dilakukan antara Komisi II dengan pemerintah memang berjalan cukup alot, sehingga memakan waktu lama untuk menyelesaikanya.
Kendati demikian, ia menegaskan, tidak ada unsur kesengajaan yang dilakukan DPR dan pemerintah, kecuali untuk memastikan bahwa setiap pasal yang dihasilkan tidak multitafsir.
Ade pun tak mempersoalkan jika nantinya ada pihak yang ingin mengajukan uji materi atas hasil revisi UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
"MK sebuah lembaga yang dibentuk berdasarkan UU di masa reformasi. Bila ada ketidakpuasan terhadap UU, maka ada ruang untuk judicial review," kata dia.
Sejumlah poin krusial yang rawan untuk diujimaterikan adalah terkait syarat anggota legislatif yang harus mundur apabila mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah.
Saat pengambilan keputusan tingkat satu, masih ada dua fraksi yang menolak usulan pemerintah tersebut, yakni Fraksi PKS dan Fraksi Gerindra.
Ia mengatakan, parpol maupun fraksi di DPR memang tidak diberi wewenang untuk mengajukan judicial review ke MK. Sebab, keduanya merupakan pihak yang menyusun UU itu sendiri.
"Yang paling celaka (jika) mereka (ajukan uji materi) melalui orang lain. Makanya, MK harus peka untuk membaca dari mana asal judicial review itu," kata dia.
Meski begitu, jika memang pasal itu nantinya akan diujimaterikan, ia memprediksi MK akan menolaknya.
Sebab, MK melalui keputusan Nomor 33/PUU-XIII/2015 telah memutuskan untuk mewajibkan aggota DPR mundur jika ingin mencalonkan diri.
Putusan MK itu lah yang dijadikan landasan hukum bagi pemerintah untuk mengajukan usulan tersebut di dalam revisi UU Pilkada.
"Saya kira MK tidak akan menerimanya, karena yurisprudensinya adalah putusan MK," ujarnya.