JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung HM Prasetyo meminta Dewan Perwakilan Rakyat RI segera mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang terkait kekerasan seksual terhadap anak.
Saat ini, Perppu itu tengah digodok pemerintah untuk memberi pemberatan hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
"Kita harapkan DPR secepatnya memproses itu karena betul-betul sekarang ini kondisi darurat Indonesia, ancaman kekerasan seksual pada anak-anak," ujar Prasetyo di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (20/5/2016).
Prasetyo mengaku bahwa dirinya yang mengusulkan adanya hukuman tambahan suntik kimia untuk mengebiri pelaku kejahatan seksual. Kejagung nantinya akan meminta para dokter untuk mengeksekusi.
"Bukan hanya kebiri, nanti juga dipasang cip," kata Prasetyo. (Baca: Hukuman "Predator" Anak, dari 20 Tahun Penjara, Kebiri, hingga Pemasangan Cip)
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani sebelumnya mengatakan, Perppu tentang hukuman kebiri hingga saat ini belum juga diserahkan ke Presiden Joko Widodo.
Pasalnya, pembuatan perppu tentang kebiri belum memiliki kesatuan suara. (baca: Puan: Perppu Kebiri Belum Diserahkan ke Presiden)
"Kami harus menyatukan pendapat kembali dan memperkuat hal-hal yang perlu dimasukkan ke dalam perppu di semua kementerian dan lembaga terkait," kata Puan.
Bila penyatuan pendapat dan penguatan materi perppu telah selesai, perppu segera dibawa ke Presiden dan DPR.
(Baca: Presiden Minta Perppu Kejahatan Seksual Dirampungkan Secepatnya)
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi mengatakan, Perppu itu menekankan tiga hal. Pertama, mengubah mindset kasus kejahatan seksual terhadap anak menjadi kejahatan luar biasa.
Kedua, karena termasuk kategori kejahatan luar biasa, sanksi pidana bagi para pelaku akan diperberat. (baca: Dua Cara Hukum Kebiri Dilakukan)
Dalam perppu itu tertulis hukuman maksimal 20 tahun bagi pelaku, disertai opsi hukuman tambahan berupa kebiri atau pemberian hormon kimia penangkal syahwat, pemberian chip, dan publikasi identitas pelaku di depan publik.
"Yang ketiga, mengatur upaya pencegahan. Bagaimana perlindungan atau advokasi bagi korban," ujar Johan.