JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komite Pemilihan Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar Rambe Kamarulzaman menilai setoran Rp 1 Miliar untuk calon ketua umum tetap harus dilakukan.
Jika tidak ada setoran itu, menurut dia, panitia akan kebingungan mencari dana untuk penyelenggaraan munaslub.
"Kami kan bikin munas tidak pakai APBN. Terus uangnya dari mana kalau tidak gotong royong," kata Rambe saat dihubungi, Rabu (5/5/2016).
Menurut Rambe, panitia munaslub tidak harus mengikuti saran Komisi Pemberantasan Korupsi yang menganggap setoran itu sebagai bentuk politik uang dan gratifikasi.
Dia menilai, setoran Rp 1 miliar bukan lah bentuk politik uang dan gratifikasi apabila tidak ditujukan untuk memengaruhi pemilih.
Setoran itu hanya akan dipakai untuk menutupi kekurangan dana untuk menyelenggarakan Munaslub Partai Golkar di Nusa Dua Bali, 15 Mei mendatang.
"Kalau kegiatannya tidak ada, pantas lah wajar lah dipertanyakan. Ini kegiatannya kan ada, silahkan dimonitor," kata dia.
Rambe menambahkan, sejak dulu Partai Golkar memang menerapkan prinsip gotong royong untuk penyelenggaraan berbagai acara, termasuk forum munaslub.
Dia pun mempertanyakan apakah gotong royong yang dilakukan kader juga akan dikategorikan politik uang oleh KPK.
"Misalnya, barisan muda Golkar sudah nyumbang Rp 300 juta apa itu harus dikembalikan?" ucapnya.
KPK melarang Partai Golkar menarik iuran Rp 1 miliar dari masing-masing bakal calon ketua umum yang akan mengikuti Munaslub. (Baca: KPK Larang Golkar Tarik Iuran Rp 1 Miliar untuk Munaslub)
Kepastian tersebut didapat setelah Wakil Ketua Komite Etik Munaslub Golkar Lawrence Siburian bertemu dengan Pimpinan KPK Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, Laode M Syarif, Alexander Marwata, dan sejumlah Deputi dan pejabat KPK lain.
Lawrence mengatakan, KPK melarang penarikan iuran karena calon yang akan dipilih maupun pihak yang punya suara ada yang berasal dari kalangan penyelenggara negara.
"Itu bisa masuk dalam ketentuan gratifikasi, karena itu dilarang memberikan sumbangan Rp1 miliar di dalam munaslub ini," kata Lawrence, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (4/5/2016).