JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi VIII DPR RI Saleh Daulay menyesalkan sikap pemerintah yang lambat merancang peraturan pemerintah pengganti undang-undang terkait hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual.
Padahal, kasus kejahatan seksual kepada perempuan dan anak terus terjadi di masyarakat.
Terakhir, yang menjadi sorotan adalah pemerkosaan dan pembunuhan oleh 14 orang terhadap Yn, siswi SMP di Rejang Lebong, Bengkulu.
"Sayangnya, sampai hari ini perppu itu belum juga dikeluarkan. Perkembangannya pun tidak begitu banyak diberitahu kepada publik," kata Saleh saat dihubungi, Rabu (4/5/2016).
Saleh mengecam dan menyayangkan kasus pemerkosaan terhadap Yn. Aksi tidak berperkemanusiaan itu sudah sangat jauh dari akal dan nalar sehat manusia.
Karena itu, para pelakunya harus dijatuhi hukuman seberat-beratnya sesuai dengan aturan perundangan-undangan yang berlaku.
Saleh pun memastikan DPR akan mendukung jika pemerintah menerbitkan perppu kebiri yang bisa memberatkan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual.
Namun dia menilai, jenis dan bagaimana dampak hukuman itu bagi penghapusan tindak kekerasan seksual perlu didalami.
"Sehingga ketika payung hukumnya lahir, betul-betul bermanfaat. Jadi tidak ada bongkar pasang norma dan aturan," ucap Saleh.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise sebelumnya mengatakan wacana hukuman kebiri bagi predator kekerasan seksual terhadap anak masih dalam pembahasan oleh pemerintah.
(Baca: Pekan Ini, Pemerintah Kembali Bahas Perppu Kebiri untuk Para Paedofil)
"Saya tidak tahu, karena saya belum dengar hasil dari Menteri (Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan). Katanya minggu ini atau minggu depan akan ada pembahasan perppu kebiri," kata Yohana.
Yohana menjelaskan wacana hukuman kebiri masih dalam pertimbangan karena banyak pro dan kontra yang muncul terhadap isu tersebut. Bahkan, dia mengungkapkan ancaman yang akan muncul apabila hukuman kebiri tersebut disahkan.