Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Imparsial: Kebebasan Sipil Tak Bisa Dikurangi Meski dengan Alasan Keamanan

Kompas.com - 22/04/2016, 06:29 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Imparsial Al Araf memandang bahwa kebebasan sipil tidak bisa dibatasi atau dikurangi untuk alasan apa pun, termasuk soal keamanan negara.

Oleh karena itu, menurut dia, revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme harus memiliki kesimbangan antara kepentingan keamanan nasional dan jaminan atas kebebasan sipil.

"Negara harus berpikir bahwa menjaga keamanan negara harus berimbang dengan jaminan atas kebebasan sipil. Tidak bisa saling menegasikan," ujar Al Araf saat ditemui di kantor Imparsial, Tebet Utara, Jakarta Selatan, Kamis (21/4/2016).

"Penting bagi Pemerintah merevisi UU Antiterorisme dengan perimbangan tersebut," kata dia. 

Lebih lanjut ia menjelaskan, jaminan atas kebebasan sipil merupakan salah satu prinsip dasar dalam penghormatan hak asasi manusia yang harus dipatuhi oleh negara.

Prinsip tersebut diakui oleh konstitusi dan diatur dalam tataran hukum internasional.

"Itu prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia yang harus dipatuhi oleh negara. Secara internasional itu diakui," ucapnya.

Al Araf pun menyayangkan jika pemerintah berniat untuk mengorbankan kebebasan sipil melalui penambahan masa penangkapan dan penahanan dalam revisi UU Antiterorisme dengan alasan kepentingan keamanan nasional.

(Baca: Kepala BNPT Tito Karnavian: Jika "Civil Liberty" Dikorbankan Sedikit, "Why Not?")

Al Araf berpendapat bahwa saat ini belum ada urgensi untuk memperpanjang masa penangkapan dan penahanan terduga teroris sebagaimana diusulkan.

Hal yang paling dibutuhkan dalam penanganan terorisme, menurut dia, adalah dibentuknya sistem pengawasan dan evaluasi di dalam UU Antiterorisme. Sebab, Densus 88 memiliki kewenangan khusus terkait upaya pemberantasan jaringan teroris.

Pengawasan dan evaluasi, kata Al Araf, harus dilakukan secara berkesinambungan untuk menghindari adanya penyalahgunaan kewenangan oleh Densus 88.

Ia mengatakan, seharusnya kasus kematian terduga teroris Siyono saat penangkapan oleh Densus beberapa waktu lalu bisa menjadi alasan kuat dibentuknya sebuah sistem pengawasan.

(Baca: Kata Busyro, Kematian Siyono Bisa Jadi Hikmah Pembahasan Revisi UU Terorisme)

"Selama ini kan sistem pengawasan tidak. Di situ letak urgensinya. Bukan pada masa penangkapan dan penahanan. Kalau Densus diberi kewenangan khusus, harus ada pengawasan yang efektif dan evaluasi oleh DPR tiap tahun," kata dia.

Kompas TV Revisi UU Anti-terorisme Masuk Prolegnas 2016
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com