Menurut dia, perubahan undang-undang ini penting karena Undang-undang tersebut merupakan produk hukum dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 tahun 2002 setelah peristiwa peledakan bom di Legian, Bali, 12 November 2012.
Alasan utama dikeluarkannya Perppu saat itu adalah Pemerintah belum memiliki payung hukum untuk mengungkap kasus bom di Bali.
"UU anti-terorisme yang sekarang berasal dari Perppu. Itu murni usul pemerintah sepihak, DPR tidak bisa membahas, tidak ada usulan dari pihak lain, akademisi ataupun pegiat HAM. Saya mendukung revisi UU tersebut karena perangkat hukum yang ada belum maksimal," ungkap Taufiq di Jakarta, Selasa (16/2/2016).
(Baca: Luhut: Saya Berdoa Tak Ada Bom Meledak Dekat Penolak RUU Antiterorisme)
Beberapa pasal yang dikhawatirkan menimbulkan deviasi dan abuse of power harus segera diperbaiki antara lain, masih simpang siurnya hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai bukti permulaan dan bagaimana laporan intelijen bisa digunakan sebagai bukti permulaan.
Ia juga menjelaskan saat ini belum ada batasan mengenai kategori laporan intelijen.
"Bukti intelijen yang mana yang bisa digunakan? Dari BIN atau dari intelijen kepolisian dan Kejaksaan? Itu harus jelas karena bersinggungan langsung dengan Hak Asasi Manusia," ungkapnya.
Selain itu, pemberian wewenang kepada penyidik pun masih terlalu luas. Artinya harus ada kejelasan bukti-bukti sebelum aparat melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang diduga teroris.
(Baca: Ini Poin-poin Revisi UU Antiterorisme yang Diusulkan Pemerintah)
Poin lain yang menurut Taufiqulhadi perlu diperhatikan adalah jangka waktu penahanan yang dianggap kurang oleh penegak hukum, program deradikalisasi, dan pengaturan mengenai cyber terrorism.
Dia juga menyatakan ketidaksetujuannya apabila badan intelijen diberikan kewenangan menangkap dan melakukan penuntutan.
"Saya kira, bila poin tersebut direvisi, akan memberikan penguatan terhadap aparat pemberantasan terorisme dan di satu sisi UU ini juga memberikan perlindungan HAM kepada warga negaranya, termasuk yang diduga teroris. Harus proporsional," ujar Taufiqulhadi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.