Namun kini, Soeharto sudah tiada. Golkar kehilangan tokoh kharismatik yang secara efektif dapat mencegah perpecahan dalam tubuh partai tertua itu. Saat ini, tidak lagi mudah untuk menjaga keutuhan Partai Golkar hanya dengan mengandalkan figur semata.
Bahkan, belum lama berselang, pada hari Minggu, 13 Desember 2015, Partai Golkar juga "ditinggalkan" oleh Mayor Jenderal (Purn) Suhardiman. (Alm) Suhardiman bukan tokoh politik biasa. Dia adalah pendiri Sentra Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) sekaligus juga pendiri Partai Golkar.
Kepergian Suhardiman meski tidak mengoyahkan posisi politik Golkar, tetapi jelas tidak menguntungkan Partai Golkar. Walau tentu saja maut tidak dapat dihindarkan. Padahal Suhardiman juga "aset" Golkar dengan posisinya sebagai "dukun politik" Partai Golkar. Suhardiman yang selama ini dengan analisis tajamnya selalu tepat meramalkan masa depan Partai Golkar.
Dukun politik itu kini juga sudah tidak mungkin dimintai pertolongan untuk "menyembuhkan" Partai Golkar. Golkar, partai yang pernah menjadi partai terbesar di republik ini, kini sedang "sakit keras".
Sulit menyangkal bahwa Partai Golkar sedang baik-baik saja. Indikatornya adalah Partai Golkar tidak mendudukkan diri sebagai tiga besar partai yang kadernya memenangkan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2015. Meski sempat duduk sebagai partai kedua terbesar pada pemilihan legislatif 2014 kini justru PDI-P dan Nasdem yang berjaya saat pilkada serentak.
"Berdasarkan catatan saya, Golkar hanya menang di 48 pilkada," ujar tokoh muda Partai Golkar Ace Hasan Syadzily. Karena pilkada serentak digelar di 269 daerah, maka artinya penetrasi kemenangan Golkar hanya terjadi di kurang dari 20 persen daerah.
Sakitnya Partai Golkar, salah satunya disebabkan pertarungan mempertahankan figur. Padahal, Golkar dapat bertahan di awal masa reformasi bukan karena figur tertentu tetapi oleh penataan kelembagaan partai, penataan perkaderan, hingga penanaman nilai-nilai kegolkaran yang sesuai kebutuhan reformasi dan demokratisasi.
Sistem yang terbentuk itu ditasbihkan oleh Ketua Umum Partai Golkar (1998-2004) Akbar Tandjung sebagai "Paradigma Baru Partai Golkar". Akbar Tandjung bahkan menjadi "korban" dari Konvensi Calon Presiden dari Golkar pada tahun 2014 dengan kalah dalam konvensi tersebut. Kekalahan Akbar memperlihatkan sistem yang dibangunnya benar-benar berjalan.
Akbar Tandjung pula yang dikatakan oleh Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurdin Halid supaya tidak perlu didengarkan suaranya berkenaan dengan desakan untuk menggulirkan Munas Bersama Partai Golkar pada tahun 2016. Padahal, suka atau tidak suka, Akbar selalu berdiri di tengah pergolakan bersejarah di partai Golkar.