JAKARTA, KOMPAS.com — Mahkamah Agung meloloskan 15 calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi dari 58 calon yang mengikuti seleksi tahap akhir. Sebanyak 11 hakim ad hoc dialokasikan untuk pengadilan tingkat pertama dan empat hakim lainnya untuk tingkat banding.
"Lebih dari 50 orang hakim ad hoc dibutuhkan untuk pengadilan seluruh Indonesia. Namun, kita tidak boleh lihat kuantitasnya saja sebab harus melihat kualitas juga," kata Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali, Jumat (13/11), di Gedung MA, Jakarta seperti dikutip dari Kompas.
Ketua Tim Seleksi yang juga Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar mengatakan, dalam meloloskan calon tersebut, tim telah mempertimbangkan berbagai masukan.
"Kami tidak melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tetapi mendengarkan masukan dari Komisi Yudisial dan masyarakat," ujarnya.
Dikutip dari situs Mahkamah Agung pada Senin (16/11/2015), berikut kelima belas hakim terpilih itu:
Tingkat Banding:
1. M. Yulie Bartin Setyaningsih - PT Jakarta
2. Hulman Siregar - PT Palangkaraya
3. Uding Sumardiana - PT Jakarta
4. Tigor Samosir - PT Medan
Tingkat Pertama:
1. Soeherman - PT Tanjung Karang
2. Dedi Ruswandi - PT Bandung
3. Gustap Paiyan Maringan - PT Medan
4. DR. Edwar - PT Pekanbaru
5. Ali Muhtarom - PT Semarang
6. Ibnu Kholik - PT Bandung
7. Mulyono Dwi Purwanto - PT Jakarta
8. Darwin Panjaitan - PT Pekanbaru
9. Bernard Panjaitan - PT Medan
10. Efendy Hutapea - PT Jakarta
11. Aminul Rahman - PT Makassar.
Hakim Bermasalah
Sebanyak 15 calon hakim ad hoc itu dipilih dari total 58 calon hakim yang menjalani seleksi di Bogor, Jawa Barat.
Koalisi Pemantau Peradilan, yang melakukan penelusuran jejak rekam terhadap 58 calon itu, mengungkapkan bahwa tidak satu calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi pun yang layak diluluskan.
"Kami, misalnya, menemukan 18 calon hakim ad hoc yang terindikasi merupakan 'pencari kerja'. Indikasi ini dilihat dari adanya calon yang pernah mengikuti beberapa seleksi calon pejabat publik, atau sedang tahap persiapan pensiunan atau bahkan telah pensiun," ujar peneliti Indonesia Corruption Watch ICW), Aradila Caesar.
Menurut Aradila, tim seleksi terlalu terfokus pada kompetensi dasar, misalnya pengetahuan dan pemahaman penanganan kasus korupsi secara teori dan praktik. Pertanyaan yang dilontarkan seputar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No 46/2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dan asas hukum pidana.
Selain itu, pertanyaan yang sangat dasar yang harus diketahui hakim perkara korupsi tak dapat dijawab secara baik oleh semua calon hakim.
Ke-58 calon tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan yang cukup baik dalam isu korupsi. Banyak yang kesulitan menjelaskan perbedaan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.
Tim seleksi, tambah Aradila, juga kurang menggali bagian integritas dan independensi calon.
Hanya ada beberapa calon yang ditanyakan seputar persoalan integritas dan independensi, tetapi tidak mencoba untuk menggali lebih jauh persoalan tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.