JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara meragukan pemberlakuan hukuman kebiri akan mampu mengurangi angka kekerasan seksual terhadap anak.
Pernyataan tersebut diungkapkannya mengacu pada revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 dengan tujuan memperberat ancaman pidana bagi para pelaku kejahatan seksual.
"Tapi ternyata di 2015, data pemerintah termasuk KPAI Komisi Perlindungan Anak Indonesia setelah direvisi dan diperberat hukumannya, ternyata tidak menurunkan ancaman seksual," kata Anggara dalam acara diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (30/10/2015).
Berdasarkan pengalaman tersebut, Anggara menambahkan, ketika hukuman akan diperberat menjadi hukuman kebiri maka tidak ada jaminan angka kekerasan seksual akan menurun.
Data kekerasan seksual pada anak juga dipaparkan dalam acara diskusi tersebut.
Berdasarkan data dari Subdit Remaja, Anak dan Wanita (Renakta) Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, angka kekerasan seksual terhadap anak pada 2014 tercatat sebanyak 40 kasus.
Sedangkan pada 2015 mengalami peningkatan karena hingga September 2015, tercatat ada 41 kasus kekerasan seksual terhadap anak di Jakarta.
Anggara juga menyayangkan, baik pemerintah maupun KPAI tidak memiliki data mengenai berapa banyak tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum dan berapa banyak putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan, jika memang yang dikejar adalah efek jera.
"(Dengan data itu) kita bisa tahu salahnya ada di mana. Apakah salah di legislasi atau di pejabat pemerintahan yang melakukan fungsi-fungsi terhadap tata hukum negara," tutur Anggara.
Menurut Anggara, yang perlu ditekankan bukan soal efek jera melainkan bagaimana agar pelakunya benar-benar dapat diproses dan hukum dapat ditegakkan.
Sehingga dapat secara efektif mencegah orang-orang lain yang punya keinginan serupa untuk tidak melakukan tindak kejahatan tersebut.
Ia pun mendorong agar pemerintah dan DPR melakukan perbaikan hukum acara pidana, khususnya untuk mengungkap kasus-kasus kejahatan kekerasan seksual terhadap anak karena memiliki karakteristik khusus terutama dalam sistem pembuktian.
Kekerasan seksual, khususnya terhadap anak, dinilai tidak tepat jika menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
"Kalau pemerintah ingin mengubah, yang diubah adalah hukum acara pidana khusus. Kan di hukum acara pisana tidak diawasi, sehingga kemungkinan lepasnya para pelaku paedofil besar," kata Anggara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.