Kesimpulan itu diambilnya berdasarkan perbandingan jumlah permohonan yang masuk ke MK dengan jumlah permohonan yang dikabulkan.
"Dari banyaknya permohonan, hanya sedikit yang dikabulkan oleh MK. Sedangkan sisanya ada yang ditolak bahkan tidak memenuhi syarat," kata Janedjri, dalam Rapat Koordinasi yang digelar Badan Pengawas Pemilu di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Selasa (6/10/2015).
Hadir dalam rapat tersebut jajaran KPU dan Bawaslu serta stakeholders lainnya mulai dari TNI, Kepolisian, DPRD dan Pemda Kalsel, hingga ormas dan tokoh agama setempat. Rapat diselenggarakan dalam rangka pendidikan partisipatif pengawasan Pilkada di Provinsi Kalimantan Selatan.
Padahal, lanjut Janedjri, pertarungan calon kepala daerah dalam pilkada selalu memuat deklarasi siap menang dan siap kalah. Namun, faktanya deklarasi itu diabaikan begitu saja oleh para calon. Menurut dia, banyaknya calon yang ngotot ini menunjukkan kedewasaan berpolitik di Indonesia masih jauh dari harapan.
"Masih butuh waktu beberapa tahun lagi agar ada paslon yang kalah dengan lapang dada menyatakakan dia kalah. Saya masih berkeyakinan pilkada sekarang ini masih banyak paslon yang menggunakan cara apa pun untuk menggugat yang menang," kata Janedjri.
Untungnya, kata dia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada kini mengatur tentang ambang batas selisih jumlah suara yang dapat mengajukan permohonan sengketa ke MK. Aturan ini akan menjadi filtrasi bagi calon yang kalah telak tapi tetap ngotot mengajukan gugatan ke MK.
"Silakan paksakan saja untuk berperkara di MK. Karena sudah pasti tidak akan memenuhi syarat formal dan memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan," ujarnya.
Dia pun mengimbau kepada calon agar tidak menggoda MK dan berharap tidak ada lagi kasus suap calon terhadap hakim MK, yang terjadi pada mantan Ketua MK Akil Mochtar.
"Jangan ada lagi yang berupaya untuk berperkara dengan iming-iming imbalan terhadap hakim konstitusi," kata Janedjri yang masih menjabat sebagai Sekjen MK saat Akil Mochtar tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.