JAKARTA, KOMPAS.com - Setara Institute mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera membentuk Komisi Ad Hoc Pengungkapan Kebenaran dan Pemulihan Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Komisi ini nantinya diharapkan mampu melakukan kajian terhadap semua laporan terkait kasus pelanggaran HAM.
"Kami mengusulkan agar komisi ini diisi sejumlah tokoh masyarakat dengan komitmen yang tinggi pada kemanusiaan dan HAM," ucap Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos di Kantor Setara, Jakarta, Senin (28/9/2015).
Bonar menambahkan, tokoh-tokoh tersebut haruslah bukan perwakilan dari berbagai kementerian atau institusi negara, seperti TNI, Polri, atau BIN. Namun, Setara mengharapkan tokoh independen dan imparsial atau tidak berpihak. Menurut dia, dalam kontruksi hukum HAM, aktor utama pelanggarannya adalah negara, sehingga mustahil jika lembaga tersebut diisi oleh elemen negara.
Bonar menjelaskan, pembentukan lembaga tersebut haruslah merupakan sesuatu yang berbeda dari langkah yang dilakukan oleh Menko Polhukam dan Jaksa Agung yang hanya mendesain rencana permintaan maaf dan pemulihan korban.
Selain itu, dalam kesempatan yang sama Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi mengatakan bahwa permintaan maaf tidak menggugurkan kewajiban negara untuk mengungkapkan kebenaran sebuah peristiwa dan kewajiban memulihkan hak-hak korban.
"Permintaan maaf adalah proses terpisah dari upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu," kata Hendardi.
Komisi Pengungkapan Kebenaran dan Pemulihan Korban Pelanggaran HAM nantinya diharapkan mampu mengungkap kebenaran dan merekomendasikan langkah lanjut apakah sebuah kasus dapat direkonsiliasi atau diselesaikan melalui mekanisme pengadilan. Karena itu, komisi ini harus diberi mandat yang jelas dan kuat.
Bonar juga memaparkan sejumlah tugas untuk komisi negara tersebut. Di antaranya, meminta agar semua dokumen publik yang berkaitan dengan kasus pelanggaran HAM masa lalu dibuka ke publik, termasuk dokumen yang dimilki aparat keamanan dan intelijen, mengidentifikasi dan menyusun daftar nama-nama pelaku dan korban dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu, serta menyusun laporan atau semacam buku putih untuk setiap kasus pelanggaran HAM masa lalu.
"Kemudian laporan tersebut harus bisa diakses oleh publik dan menjadi bagian dari pelajaran sejarah dan pendidikan kewarganegaraan di sekolah," ujar Bonar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.