"Misalnya saya petahana sudah tak bisa maju lagi, istri atau anak saya yang maju lagi. Nah, gerakan petahana ini yang harus dibelenggu, diatur," ujar Mulhanan saat ditemui di Jakarta, Sabtu (11/7/2015).
Jika revisi pasal tersebut tidak disertai dengan pembuatan aturan baru, efek negatif dari revisi akan terjadi, yakni politik dinasti. Jika dinasti telah terbentuk, sumber daya manusia dan struktur pemerintah dikuasai.
Situasi ini sangat rentan terhadap praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Mulhanan berpendapat, pemerintah tak cukup hanya mengandalkan penegakan hukum saja. Penegakan hukum, menurut Mulhanan, sudah sepatutnya dilaksanakan.
"Tetapi penegakan hukum itu terjadinya saat di belakang, saat sudah kejadian. Yang saya maksud ini aturan pencegahannya. Supaya tidak terjadi apa yang dikhawatirkan dari politik dinasti," ujar Mulhanan.
Pria yang juga akan maju sebagai petahana di daerah yang dipimpinnya kini tersebut juga menambahkan, jangan sampai putusan MK merevisi pasal 7 huruf r UU Kepala Daerah itu malah menjadi gerbang kembalinya dinasti politik beserta efek negatifnya ke Indonesia.
"Negara wajib campur tangan di situ. Harus ada instrumen hukum yang membatasi gerak si petahana agar tidak turut campur jika ada keluarganya yang hendak 'nyalon'. Biarlah mereka itu bertarung dengan gayanya sendiri," ucap dia.
Melalui pasal yang sudah direvisi itu, kini, seseorang yang berasal dari keluarga petahana diperbolehkan maju sebagai kepala daerah melalui Pemilukada.
Sebelum pasal direvisi, keberadaan pasal itu disebut untuk mencegah munculnya 'politik dinasti' di suatu pemerintahan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.