"Selama ini belum ada UU Penjaminan bagi UMKMK. Ini harus segera untuk menjamin para pengusaha kecil dan koperasi," kata ARB dalam diskusi yang digelar Fraksi Partai Golkar (FPG) di Gedung DPR Jakarta Rabu, (17/6/2015).
RUU Penjaminan yang dimotori Fraksi Partai Golkar hampir selesai dan rencananya akan segera mengajukan surat ke Presiden terkait RUU ini. Dengan adanya UU Penjaminan ini, ke depan UMKMK akan mempunyai payung hukum yang jelas, sehingga aksebilitas permodalan di sektor ini bisa terealisasikan.
Namun beberapa pengamat menilai RUU Penjaminan ini masih banyak kelemahan, terutama menyangkut melegalkan modal asing masuk hingga 49 persen. Hal ini dinilai sebagai kesalahan yang sangat mendasar, karena DPR hanya memahami uang sebagai satu-satunya modal UMKMK.
DPR tidak melihat aspek sosial dari UMKMK sebagai modal. Pelegalan modal asing juga menjadi ironis, karena di satu sisi RUU Penjaminan diharapkan dapat menjadi payung hukum untuk mengembangkan UMKMK, tapi di sisi lain malah membuka peluang modal asing masuk ke ranah penjaminan. Ini dianggap kontradiktif.
Ketua Panja RUU Penjaminan, Firman Subagio mengatakan, keterlibatan modal asing sudah dikurangi. Kalau sebelumnya 49 persen, kini menjadi hanya 30 persen.
Pernah ada pengalaman, menurut Firman, UU memberikan kesempatan asing menguasai 49 persen dan dalam pelaksanaan asing melakukan pembelian di bawah tangan lagi sebesar dua persen, sehingga asing menjadi mayoritas. "Ini sangat berbahaya," kata dia.
Sementara itu, Deputi Komisioner Pengawas IKNB Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dumoly F Pardede memberikan beberapa catatan kritis terkait keberadaan RUU Penjaminan ini.
Pertama, Dumoly memaparkan, soal defenisi UMKMK. Hal ini sangat penting, karena hampir semua departemen dan lembaga membuat definisi sendiri soal UMKMK. Tidak ada satu definisi yang jelas soal apa dan bagaimana UMKMK ini.
Dumoly mengatakan, Kementerian Koperasi membuat defenisi sendiri, Kementerian Perdagangan juga, begitu pula dengan kementerian dan lembaga lainnya. Tidak ada satu definisi pasti soal UMKMK ini. "Karena itu, DPR perlu membuat satu defisini yang pasti soal UMKMK", ucapnya.
Kedua, soal sinkronisasi RUU Penjaminan dengan UU lain yang sudah ada. Hal ini sangat penting karena memang beberapa pihak meniai secara yuridis RUU Penjaminan mengabaikan yang ada seperti UU Bank Indonesia, UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK), UU Perlindungan Konsumen, dan UU Lembaga Penjaminan Simpanan.
"Sinkronisasi sangat penting untuk menghindari tumpang tindih dengan UU dan peraturan-peraturan yang ada," kata Dumoli.
Ketiga, soal asuransi. "Ini sangat penting, karena tanpa adanya dukungan asuransi, saya tidak yakin hal ini akan berjalan baik, ucapnya.
Keempat, kapasitas lembaga penjaminan. Hal ini, kata dia, sangat penting, karena jika tidak maka akan terjadi ladang pembunuhan antar lembaga penjaminan, kata Dumoly, di Sumatera Utara (Sumut), ada tiga lembaga penjaminan yakni Jamkrindo, Jamkrida dan Asprindo. Ketiga lembaga penjaminan itu menarget pangsa pasar yang sama.
"Maka terjadilah saling rebut pasar dan akibatnya yang kuat akan menang dan yang kecil akan kalah," tuturnya.
Untuk itu, Dumoly mengingatkan pengusul RUU Penjaminan harus tegas memberikan segmentasi di mana wilayah Jamkrindo, Jamkrida, dan Aprindo. "Jika tidak yang akan terjadi setelah RUU Jaminan ini dilaksanakan adalah Jamkrindo tutup dan Jamkrida mati pelan-pelan," ucapnya.