"Garuda di dadaku. Malaysia di perutku." Demikianlah seloroh warga perbatasan Indonesia-Malaysia yang santer terdengar. Mereka hidup di tanah Indonesia, namun mengais rezeki di tanah tetangga. Mereka mengenyam pendidikan di sana, bahkan menggunakan ringgit Malaysia dalam jual-beli alih-alih rupiah Indonesia.
Itulah sepenggal kisah warga perbatasan. Dengan luas wilayah yang terbentang dari Sabang hingga Marauke, Indonesia memiliki 16 provinsi yang berbatasan langsung atau tidak langsung dengan negara lain. Sayang, meski merupakan beranda atau teras negara, kehidupan penghuni perbatasan belum bisa dikatakan sejahtera.
Bagaimana tidak, kualitas pendidikan dan kesehatan mereka minim. Infrastruktur dan aksesibilitas buruk, jauh dari kata layak. Setidaknya itulah yang dikatakan Anggota Badan Pengkajian MPR RI sekaligus anggota DPR RI F-PAN Ali Taher dan Staf Khusus Kepala Bappenas Sony Harry Harmadi dalam Diskusi Pilar Negara:Masalah Wilayah Perbatasan, Senin (8/6/2015).
Bertempat di Perpustakaan MPR, Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Sony mengatakan, pembangunan daerah perbatasan merupakan prioritas nasional. Sebab jika dibiarkan berlarut-larut, maka kedaulatan ekonomi Indonesia di daerah tersebut akan terkikis sebab mereka cenderung lebih miskin dibanding masyarakat di daerah lain.
"Yang jadi permasalahan juga soal tapal batas. Ini akan sangat penting dalam rangka mengelola sumber daya alam kita. Demikian juga dari segi keamanan karena perbatasan merupakan pintu masuk segala aktivits illegal," jelas Sony kepada peserta diskusi siang itu.
Meski demikian, Taher mengungkapkan, kondisi masyarakat di tiap perbatasan tidak bisa disamaratakan. Contohnya warga perbatasan Indonesia-Malaysia dengan Indonesia-Timor Leste. Artinya, infrastruktur yang ada bisa membuat masyarakat berorientasi kepada sebuah negara.
"Memang menyedihkan. Maka dari itu, ini bukan hanya tugas pemerintah pusat, tapi juga daerah karena mereka sangat berperan dalam pembangunan perbatasan," ungkap Taher.
Untuk itulah, baik Taher maupun Sony mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera menyelesaikan persoalan ini. Karena jika tidak, nasionalisme warga perbatasan akan terkikis. Pancasila akan hilang karena munculnya kekecewaan.
"Karena itu, negara harus hadir dalam pembangunan ini. Benahi pemerintah daerah setempat, dengan demikian ekonomi akan berkembang engan sendirinya. Kesadaran patriotisme akan muncul jika mereka merasakan kehadiran negara di masyarakat," kata Taher lagi.
Demi menyelesaikan hal tersebut, Taher dan Sony memiliki solusi untuk pemerintah, yakni memberlakukan ekonomi kerakyatan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia di wilayah tersebut, serta peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan.
"Karena mereka kecewa dengan pemerintah pusat. Sumbangan mereka kepada negara besar tapi ternyata yang mereka dapatkan justru tidak ada. Listrik aja sering mati," tutup Taher.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.