JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah mengatakan, DPR sepakat untuk tetap mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Menurut dia, revisi undang-undang yang belum pernah digunakan itu tak akan memakan waktu lama, sehingga dia menjamin pelaksanaan pilkada serentak tak akan terganggu.
"Kekejar kok, kekejar. Cukup kok. Cepat. Karena drafnya sudah disepakati," ujar Fahri di Istana Kepresidenan, Senin (18/5/2015).
Fahri menuturkan, saat ini pembahasan undang-undang di parlemen berlangsung cukup singkat. Dia mencontohkan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD yang hanya memakan waktu satu minggu.
"Ini juga mau saya sampaikan ada juga lho cara percepat pembuatan undang-undang. Kita nggak perlu berbelit-belit, studi banding lah, keluar negerilah. Ini sudah kita akhiri. Studi banding sudah nggak ada lagi," kata politisi Partai Keadilan Sejahtera itu.
Lebih lanjut, Fahri menyatakan bahwa perubahan UU Pilkada sangat diperlukan karena undang-undang itu masih belum memberikan aturan tegas tentang partai yang berkonflik. Dia menyoroti dualisme yang terjadi di tubuh Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Golkar.
Saat ini, kedua partai itu juga tengah menempuh jalur hukum untuk menggugat Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM. Menurut Fahri, untuk mempercepat proses hukum yang akan memakan waktu panjang, sebaiknya Menteri Hukum dan HAM tidak perlu sampai mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Sudahlah, coba Menkumham jangan banding. Kan dia tidak masuk dalam pihak (berperkara) Kalau PTUN sudah putuskan ya sudahlah. Jangan banding-banding begitu lho. Sengketa ini boleh jadi mungkin bisa cepat, jadi kepesertaan pilkada langsung juga bisa jelas. Kalau enggak, repot kita," ucap Fahri.
Persoalan revisi UU Pilkada ini bermula dari keputusan Komisi Pemilihan Umum telah menyetujui draf peraturan KPU mengenai parpol yang bersengketa. KPU memberikan syarat untuk parpol yang bersengketa di pengadilan harus sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau sudah islah sebelum pendaftaran pilkada.
Pada rapat antara pimpinan DPR, Komisi II DPR, KPU, dan Kemendagri, Senin (4/5/2015) lalu, DPR meminta KPU untuk menyertakan putusan sementara pengadilan sebagai syarat untuk mengikuti pilkada. Namun, KPU menolak karena tidak ada payung hukum yang mengatur hal itu.
Akhirnya, DPR berusaha untuk merevisi UU Parpol dan UU Pilkada untuk menciptakan payung hukum baru.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.