"Hari ini jadwal sidang putusannya," kata anggota tim kuasa hukum Ilham, Denny Hariyatna saat dihubungi, Selasa.
Komisi Pemberantasan Korupsi sebelumnya menetapkan Ilham sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi kerja sama rehabilitasi kelola dan transfer untuk instalasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar tahun anggaran 2006-2012 pada 7 Mei 2014. Penetapan tersangka itu bertepatan dengan akhir jabatannya sebagai Wali Kota Makassar.
Denny mengatakan, sejak ditetapkan sebagai tersangka hingga kini belum ada tindak lanjut atas perkara tersebut. Namun, kliennya merasa mengalami kerugian karena dicekal ke luar negeri serta rekeningnya diblokir dan hak politiknya dicabut.
Ia juga menilai ada kejanggalan dalam penanganan kasus ini. Hal itulah yang menjadi salah satu dasar pertimbangan untuk mengajukan gugatan praperadilan terhadap KPK ke PN Jaksel.
"Kami rasa mereka kurang alat bukti, makanya ini tidak dilanjut. Waktu penyitaan saja, saksi diminta tanda tangan saat barangnya sudah di KPK buka sewaktu penyitaan," ujarnya.
Sebelumnya, Ilham telah mendaftarkan gugatan praperadilan ke PN Jaksel pada 18 Maret 2015. Namun, gugatan tersebut kemudian dicabut pada 1 April 2015. Setelah itu, Ilham kembali mengajukan gugatan praperadilan dan mulai menjalani sidang perdana pada 4 Mei 2015.
Putusan MK
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan terpidana kasus bioremediasi Chevron Bachtiar Abdul Fatah terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Mahkamah menyatakan, pasal yang dimohonkan Bachiar, yakni Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP inkonstitusional terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 karena mengabaikan prinsip hak atas kepastian hukum yang adil.
"Alasannya bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia," kata hakim konsitusi Anwar Usman, membacakan putusan dalam persidangan.
"Upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan. Namun, pada masa sekarang, bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah 'penetapan tersangka oleh penyidik' yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka kepada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas," kata Anwar.
Selain itu, Mahkamah juga mengubah Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan menabahkan frasa "minimal dua alat bukti" dalam proses penetapan dan penyidikan seseorang sampai menjadi tersangka.
Sebelumnya, dalam pasal-pasal itu tidak dijelaskan jumlah bukti permulaan. Pasal 1 angka 14 KUHAP, misalnya, lanjut Anwar, menyebutkan penetapan tersangka hanya didasarkan pada bukti permulaan tanpa disebutkan jumlah alat bukti. Bachtiar Abdul Fatah divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 200 juta pada Oktober 2013.
Bachtiar dinyatakan bersalah dalam proyek normalisasi lahan tercemar minyak atau bioremediasi di Riau pada kurun 2006-2011. Bachtiar sebelumnya sudah dibebaskan berdasarkan putusan praperadilan. Namun, dia ditahan kembali sejak 17 Mei 2013.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.