Oleh: Daniel Dhakidae
JAKARTA, KOMPAS - Kongres "partai tua"—partai-partai yang didirikan pada masa Orde Baru—berakhir dalam kericuhan besar yang sungguh tragis. Tidak ada kericuhan lebih besar dalam suatu partai daripada ketika salah satu unsur atau lebih menolak mengakui ketua umum terpilih dalam suatu kongres dan menghancurkan legitimasinya.
Menolak mengakui hasil puncak suatu kongres partai tidak lain dari menolak raison d’Être partai itu. Sangat menarik bahwa kecelakaan ini menyangkut partai-partai tua yang dengan pengalaman berdasawarsa seharusnya menunjukkan kestabilan, kematangan, dan pengalaman savoir faire dalam suatu politik kepartaian.
Pertama, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sampai saat menjelang kongres adalah partai yang sangat berhasil mempertahankan tradisi tua kepartaian nasional dalam arti suatu "partai total", dalam pengertian suatu partai yang siap di dalam dirinya menjalankan suatu metode kerja dan perlengkapan kelembagaan dalam rangka mini state. Kongres PPP yang diwarnai skandal besar yang melibatkan calon/ketua umum partainya dengan sendirinya menjadi ramalan seperti apa nanti kongres yang dijalankan. Hasilnya membuktikan itu ketika terjadi perpecahan partai yang sulit didamaikan.
Kedua, Golkar menyelenggarakan kongres setelah mengalami frustrasi politik besar-besaran dalam Pemilihan Umum 2014 dalam dua dimensi penting. Sebagai pemenang nomor dua, Golkar sama sekali tidak mampu mencalonkan salah seorang anggotanya, termasuk ketua umumnya sendiri, untuk bertarung sebagai calon presiden. Ini untuk pertama kalinya sejak sistem politik bangsa ini masuk ke dalam sistem persaingan, termasuk persaingan "semu" sepanjang masaOrde Baru.
Dimensi penting lainnya adalah ketika Golkar sendiri tidak mampu juga menjadi pemimpin koalisi, coalition leader, dalam usaha peningkatan posisi partai dalam suatu persaingan menuju posisi tertinggi negara. Pemimpin koalisi mungkin tidak penting dalam dirinya, tetapi ia penting sebagai dasar pengakuan dalam kontestasi bebas di kalangan partai. Akibat dari dua hal di atas partai tersebut limbung sampai hari ini.
Politik menuju kongres PDI-P Bali
Sebentar lagi, 9 April, akan ada kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Bali, "partai tua" ketiga yang dalam urutan di atas menjalankan kongres. PDI-P berbeda dalam arti ia tidak mengalami frustrasi seperti Golkar karena menjadi pemenang pemilihan umum—meski kemenangan tersebut tidak menjadi cukup alasan untuk menikmati euforia bermewah-mewah seperti ditunjukkan pada masapenyusunan kabinet dan sesudahnya.
Kemampuan mengusung calon presiden dan memenangi pemilihan kepresidenan menjadi alasan lain untuk membedakan dirinya dari dua partai tua di atas. Namun, kemenangan pemilihan kepresidenan pun tidak memberikan alasan untuk merayakan euforia bermewah-mewah. Dua kemenangan berlangsung tanpa euforia karena ketiadaan political euphorigenic, yaitu hal-hal yang memungkinkan euforia politik tersebut.
Euforigenik pada pemilihan umum baru ditemukan kalau kemenangan mayoritas bisa dicapai. Dalam empat kali pemilu nasional setelah kejatuhan Orde Baru, tidak pernah satu partai pun mencapai mayoritas mutlak. Karena itu, meski memenangi Pemilihan Umum 2014, PDI-P dengan susah payah mencari dan menemukan koalisi efektif meskipun Partai Nasional Demokrat (Nasdem) tanpa ragu-ragu menjadi peserta pertama dan utama. Dengan latar belakang seperti itulah PDI-P akan menjalankan kongres di Bali.
Meski demikian, kongres Bali 2015 berlangsung dalam suasana kemenangan. Di sisi lain, kemenangan tanpa euforia diam-diam mengangkat soal-soal pelik yang berada di balik semuanya, seperti soal kepresidenan—sejauh mana seorang presiden dari suatu partai, PDI-P, menjadi "utusan" dan "petugas" partai; kapan kesetiaan kepada partai berhenti dan kesetiaan kepada bangsa dimulai. Soal pencalonan Kepala Polri yang didukung penuh oleh partai dan ujungnya adalah suatu fiasko: calon partai, menjadi calon tunggal Presiden, diterima pleno DPR, kemudian ditolak oleh Presiden sendiri sebagai pengusung calon tunggal. Tidak pernah terjadi kontradiksi politik kepresidenan sebesar itu dalam kepresidenan siapa pun pada masa lalu.
Semuanya dibuat semakin pelik lagi, yaituseolah-olah menjadi "teka-teki" apakah pencalonan tunggal adalah servis atau jerat, treat or trick? Kalau itu berarti treat, semestinya persetujuan parlemen diterima dengan "senyum simpul" Presiden. Alternatifnya itu adalah trick sehingga diterima dengan penolakan getir dengan konsekuensi politik panjang berbelit-belit. Semuanya mengandung konsekuensi kepartaian sehingga kemenangan tanpa euforia di depan publik memberi kesan hubungan Presiden sebagai "petugas" partai semakin luntur. Akibatnya, partai pendukung berubah menjadi "semi-oposisi" dalam tindak politik parlementer.
Kontradiksi demi kontradiksi berlangsung tumpuk-menumpuk tanpa pemecahan, sekurang-kurangnya sampai tulisan ini dibuat.
Kongres PDI-P dan ketua umum partai
Pemilihan ketua umum adalah pet agenda dalam setiap kongres kepartaian nasional, agenda induk dan agenda timangan. Tanpa itu, setiap kongres menjadi cair, hambar, atau sebaliknya penuh ketegangan, kisruh, dan kacau dari ujung ke ujung. Karena itu, pemilihan ketua umum adalah acara yang dinanti-nantikan oleh anggota partai sendiri dan ditunggu-tunggu publik pada umumnya.