Partai dalam tradisi bangsa ini selalu berambisi menjadi suatu mini-state, baik dalam kekuasaan sesungguhnya maupun dalam kelakuan sehari-hari para anggota terhadap ketua partainya masing-masing dan kelakuan para ketuanya sendiri. Dalam hubungan itu, ketua partai besar pada dasarnya menjadi kepala suatu mini-state. Karena itu, pemilihan ketua partai, terutama partai-partai besar, hanya bisa dibandingkan dengan pemilihan ketua partai di negeri-negeri sosialis dalam arti Feierlichkeit, suasanakegemilangan perayaan, yang diawali oleh ketegangan dan sikut-menyikut dalam persaingan.
Untuk kepentingan itu mari kita berguru kepada Niccolo Machiavelli, 1469-1527, seorang pendasar politologi, ilmu politik, sesungguhnya, yang melepaskan dirinya dari agama dan studi-studi agama, teologi, sebagai dasar analisis politik. Dalam hubungan dengan kekuasaan, Machiavelli mengatakan bahwa sudah banyak yang memberi nasihat macam-macam, tetapi dia tidak akan mengikuti pendapat-pendapat itu: "Rasanya lebih bijaksana bagi saya mengikuti the real truth of the matter rather than what we imagine it to be."
Ada dua hal di sini yang mau dikatakannya yang dibahas penulis dalam urutan terbalik. Pertama, adalah what we imagine to be, apa yang kita bayangkan, apa yang kita cita-citakan yang boleh jadi sesuatu yang sangat ideal, akan tetapi tidak bisa dikerjakan. Kenyataan dalam kehidupan politik kepartaian sesungguhnya yang ideal seperti ideologi bertempat dalam urutan terakhir dari hal-hal penting kepartaian.
Kedua, kenyataan utama yang sebenarnya adalah dalam bahasa Italia disebut verita effetuale della cosa yang lebih tepat diterjemahkan sebagai the effective truth, yaitu kebenaran efektif—kebenaran yang bukan hanya bisa diolah dan dikerjakan, melainkan juga yang ketika diolah akan menghasilkan dasar-dasar baru yang kuat bagi kepentingan kekuasaan politik (il principe).
Dalam hubungan itu, kebenaran efektif dalam kehidupan kepartaian adalah menampilkan tokoh dan ketokohan yang terutama menjadi hitungan; baru sesudah itu muncul modal dan ideologi. Ketika kita berbicara tentang ketua partai, kita berbicara tentang ketokohan, penguasa partai, dan bukan yang lain.
Ada tiga hal dasar, katanya, yang memungkinkan seorang penguasa berkuasa. Ini seolah-olah menjadi tritunggal Machiavellian, yaitu fortuna, virtu, dan necessita. Fortuna lebih berurusan dengan suratan takdir, garis tangan, sesuatu yang diatur dari langit, karena itu tidak bisa dikontrol manusia, liar tak terbendung—unsur irasional dalam memperoleh kekuasaan.
Virtu, bukan kebajikan dalam pengertian klasik kristen, berarti pengetahuan, pengorganisasian, rencana, strategi, siasat, dan lain-lain untuk mengatasi suatu keadaan demi mencapai kekuasaan—unsur rasional dalam kekuasaan.
Necessita, keniscayaan sejarah, yang didukung penuh oleh fortuna dengan sendirinya melancarkan jalan ke arah kekuasaan dan menjadi penguasa. Fortuna tanpa virtu membuat kekuasaan tidak langgeng; demikian juga sebaliknya, virtu tanpa fortuna suatu kekuasaan itu kering dan akan meranggas dengan sendirinya. Fortuna, virtu, tanpa necessita hanya membuat suatu kekuasaan tidak terwujud. Dengan kata lain, tiga-tiganya menjadi unsur konstitutif kekuasaan yang langgeng.
Dalam hubungan dengan kongres PDI-P, hampir tidak ada berita tentang calon ketua umum yang bocor ke publik, selain konsensus bahwa Megawati Soekarnoputri sudah ditawarkan menjadi ketua umum dalam rakernas PDI-P terakhir. Salah satu yang bocor ke media sosial adalah bahwa Joko Widodo akan menjadi pesaing keras Megawati Soekarnoputri dengan dukungan sejumlah pemodal.
Tentang Jokowi bisa dikatakan bahwa mungkin ada fortuna yang mendukungnya. Namun, akan berlangsung tanpa virtu karena dukungan internal partai tidak pernah dirancang dan dikerjakan—sekurang-kurangnya berdasarkan informasi publik; dalam arti itu, kalau benar dia memasuki arena persaingan, hanya keniscayaan sejarah mungkin satu-satunya yang akan menjadi taruhannya.
Fortuna dan virtu berada di sisi Megawati Soekarnoputri dan sambil melihat perpecahan demi perpecahan di kalangan "partai tua" yang menakutkan, sangat besar kemungkinan necessita, keniscayaan sejarah—sebagaimana pernah berlangsung pada kongres Surabaya yang dramatik pada 1993—berada lagi di pundaknya.
Daniel Dhakidae
Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Jurnal Prisma
* Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Selasa (7/4/2015).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.