"Kejaksaan Agung seharusnya bukan menunda, tetapi menghentikan hukuman mati," ujar Al Araf, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (30/12/2014). Menurut Al Araf, hukuman mati harus dihentikan karena melanggar hak hidup seseorang.
Selain itu, hukuman mati juga dianggap tidak memenuhi aspek hak hidup dan keadilan seorang narapidana. Al Araf memandang hukuman mati tidak memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan di Indonesia.
"Biar bandar narkoba dieksekusi mati, tetapi bandar-bandar narkoba yang masih bebas juga tidak jera kan," ucap Al Araf.
Dia meminta agar Kejagung berkomunikasi dengan Presiden Joko Widodo untuk menghentikan pelaksanaan eksekusi mati di Indonesia. Menurut dia, pemberian hukuman seumur hidup sudah cukup bagi terpidana dengan kasus-kasus berat. "Pemberian hukuman seumur hidup sudah cukup," kata Al Araf.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung mengisyaratkan batal mengeksekusi dua terpidana mati yakni GS dan TJ, pada bulan ini. Hal tersebut berdasarkan waktu yang hanya tersisa dua hari jika eksekusi tetap dilaksanakan pada Desember 2014.
"Sekarang sudah tanggal berapa? Tanggal 29 kan, nah coba itu (dihitung saja)," ucap Jaksa Agung, HM Prasetyo, di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (29/12/2014).
Prasetyo menampik, Kejaksaan Agung mengulur waktu ataupun ragu-ragu dalam mengekseskusi para terpidana mati. Namun, ada aspek yuridis maupun aspek hukum dari narapidana tersebut yang harus dipenuhi sebelum eksekusi dilakukan.
Kejaksaan tidak ingin ada kesalahan yang dilakukan pasca eksekusi dilakukan. "Ini berkaitan dengan nyawa. Sekali dieksekusi, tidak bisa dikembalikan lagi," ucap Prasetyo. [Baca: Kejaksaan Agung Isyaratkan Batal Eksekusi 2 Terpidana Mati pada Bulan Ini]