Penambahan e-voting dalam Peraturan KPU (PKPU), menurut Hadar, juga memperhatikan aspek non-teknologi, misalnya kepercayaan masyarakat dan persetujuan pemerintah.
"Kami paham BPPT telah melakukan penelitian mengenai ini. Namun, soal penggunaan teknologi ini, kami perlu pastikan alat ini dipahami dan dipercaya, tidak cukup uji coba dengan skala kecil," ujar Hadar saat ditemui di Gedung KPU, Senin (13/10/2014).
Pertimbangan terhadap kekurangan alat e-voting, kata Hadar, salah satunya mengenai kemungkinan kegagalan teknis. Hal ini dikhawatirkan menyebabkan kegagalan dalam seluruh pelaksanaan pilkada.
Uji coba e-voting yang telah diterapkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam pilkades di beberapa wilayah, menurut Hadar, belum bisa digunakan sebagai patokan. Alat e-voting ini telah diterapkan untuk pemilihan kepala desa di Kebon Gulo, Boyolali, pada 5 Maret 2013; Desa Mendoyo Dangin Tukad di Jembrana, Bali, pada 29 Juli 2013; dan Desa Taba Renah di Musi Rawas, Sumatera Selatan, pada 5 Desember 2013.
Hadar menambahkan, penggunaan teknologi dalam rekapitulasi suara masih mungkin dilakukan dalam waktu dekat, tetapi masih sebatas uji coba.
"Dalam pileg dan pilpres kemarin sudah kita lakukan, cuma tak banyak yang sadar. Namun, itu baru tahap awal, misalnya penggunaan scan form C1," kata Hadar.
Menurut Hadar, keputusan untuk memasukkan teknologi e-voting dalam peraturan KPU, baik untuk pemungutan suara maupun rekapitulasi suara, masih perlu pertimbangan matang.
"Paling cepat, e-voting akan digunakan serentak pada 2020," kata Hadar.
Dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, salah satu poin dalam perbaikan pasal yang diajukan berisi tentang penggunaan e-voting dalam pelaksanaan pemilihan umum.