KOMPAS.com - RANCANGAN Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah mendadak menjadi sorotan setelah enam dari sembilan fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat berubah sikap. Dalam rapat konsinyering Panitia Kerja RUU Pilkada pada 2 September lalu, keenam fraksi mengusulkan pilkada oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Padahal, pada rapat sebelumnya, yakni pada tanggal 14 Mei, semua fraksi mengusulkan pemilihan kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota, dipilih secara langsung. Justru pemerintah yang tetap pada posisi gubernur dipilih langsung dan bupati/wali kota dipilih oleh DPRD.
Saat mayoritas fraksi berbalik mengusulkan pilkada oleh DPRD, pemerintah justru mengusulkan semua kepala daerah dipilih langsung. Alasannya, ingin mendekati pandangan mayoritas fraksi di DPR yang sejak awal pembahasan pada tahun 2013 bersikukuh menginginkan pilkada tetap secara langsung.
Perubahan sikap enam fraksi partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih itu pun mendapat reaksi negatif dari berbagai kalangan. Tidak hanya kalangan masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat, tetapi juga para akademisi turut bersuara menolak sikap fraksi Koalisi Merah Putih.
Kelompok masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan akademisi pun berkoalisi membuat gerakan penolakan pilkada tak langsung. Gerakan penolakan dilakukan dengan berbagai cara, dari diskusi, penyampaian pernyataan sikap, berunjuk rasa, hingga memberikan masukan kepada Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada di DPR.
Ajakan untuk menolak pilkada oleh DPRD juga gencar dilakukan di dunia maya. Koalisi Masyarakat Sipil membuat petisi daring (online) untuk meminta dukungan masyarakat menolak pilkada oleh DPRD.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menganggap pilkada oleh DPRD sebagai kemunduran demokrasi. Pilkada oleh DPRD juga dinilai inkonstitusional karena tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Pemilihan gubernur, bupati, wali kota diatur dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Ayat itu menyebutkan, gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan di provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Titi mengartikan demokratis dalam konstitusi sebagai pemilihan langsung oleh rakyat.
Koalisi Masyarakat Sipil juga mempersoalkan inkonsistensi yang ditunjukkan mayoritas fraksi di parlemen. Sebab, selama lebih kurang dua tahun pembahasan RUU Pilkada, mayoritas fraksi bersikukuh mengusulkan pilkada secara langsung.
Sementara enam fraksi di parlemen juga kukuh mempertahankan sikap, pilkada oleh DPRD. Hal itulah yang menye- babkan Tim Perumus (Timus) Panja RUU Pilkada harus menyiapkan dua draf RUU Pilkada. Pertama, draf RUU Pilkada dengan pemilihan langsung, dan kedua draf RUU Pilkada dengan pemilihan oleh DPRD.
Wakil Ketua Panja RUU Pilkada Komisi II Khatibul Umam Wiranu menjelaskan, Timus membuat dua draf RUU Pilkada karena mekanisme pemilihan akan berpengaruh pada pengaturan lainnya. Hal itu di antaranya pengaturan soal penyelenggara, tahapan, dan penanganan sengketa akan berbeda antara pilkada langsung dan pilkada oleh DPRD.
Keputusan Timus menyusun draf RUU Pilkada langsung dan RUU Pilkada oleh DPRD juga dikritisi kalangan masyarakat sipil. DPR dianggap tidak mempunyai itikad baik untuk memajukan demokrasi.
Pertentangan soal RUU Pilkada yang mengemuka akhirnya sebatas mekanisme pemilihan, pilkada langsung atau pilkada oleh DPRD. Padahal, sebenarnya banyak persoalan pilkada yang membutuhkan jalan keluar.
Salah satunya soal kapasitas kepala daerah. Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti R Zuhro menjelaskan, pilkada tidak bisa dilepaskan dari pelaksanaan otonomi daerah sejak tahun 1999. Otonomi di daerah menuntut munculnya kepala daerah yang memiliki kapasitas. Kepala daerah betul-betul mampu membawa daerah makmur, maju, dan rakyatnya berdaya sesuai tujuan otonomi daerah.
Pilkada oleh DPRD yang diterapkan sejak 1999-2004 dianggap tidak berhasil memunculkan pemimpin daerah yang mumpuni. Dalam Naskah Akademik RUU Pilkada yang disusun pemerintah disebutkan, pemilihan oleh DPRD memunculkan problem kapasitas dan akseptabilitas.