Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Vonis Susi, Hakim Gunakan Pasal di Luar Dakwaan Jaksa KPK

Kompas.com - 23/06/2014, 15:43 WIB
Dian Maharani

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
- Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memutus perkara terdakwa kasus dugaan suap pengurusan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK), Susi Tur Andayani, dengan pasal yang tidak didakwakan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sidang vonis seorang advokad ini pun diwarnai dissenting opinion atau berbeda pendapat oleh dua dari lima hakim.

Hakim menilai susi tidak terbukti Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dakwaan yang disusun jaksa KPK. Pasal ini mengatur tentang hakim yang menerima suap.

"Menyatakan terdakwa Susi Tur Andayani alias Uci tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancan pidana dalam Pasal 12 huruf c," ujar Ketua Majelis Hakim Gosyen Butarbutar saat membaca putusan Susi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (23/6/2014).

Menurut hakim, dakwaan tersebut tidak tepat untuk Susi. Hakim menilai Susi terbukti bersalah menyuap hakim sebagaimana Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Hakim juga menilai Susi terbukti melanggar Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Beda pendapat

Dua dari lima hakim yang berbeda pendapat, yaitu hakim anggota Sofialdi dan hakim anggota Alexander Marwata. Menurut Sofialdi, dakwaan yang disusun jaksa penuntut umum KPK kabur dan harus batal demi hukum.

"Terdakwa Susi Tur Andayani tidak dapat dipersalahkan dan dijatuhi pidana berdasarkan surat dakwaan penuntut umum yang batal menurut hukum tersebut," kata Sofialdi.

Sementara itu, Alexander menilai hakim tidak dapat memutus atau memvonis suatu perbuatan yang tidak didakwakan kepada Susi.

"Majelis hakim juga melampaui kewenangan karena merumuskan dan membuat sendiri pasal yang tidak didakwakan dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa," kata Alexander. Dengan kata lain, Susi dijatuhi hukuman dengan perbuatan yang tidak didakwakan padanya.

Menurut Alexander, penyusunan surat dakwaan dengan pasal yang tidak tepat merupakan kesalahan jaksa penuntut umum KPK dan tidak dapat dilimpahkan tanggung jawab kepada seorang terdakwa. Menurut Alexander, memutus perkara di luar dakwaan akan menimbulkan efek buruk dalam penegakan hukum.

"Tidak tertutup kemungkinan ke depan jaksa penuntut umum akan membuat surat dakwaan asal-asalan dengan harapan dalam proses pemeriksaan di pengadilan majelis hakim akan mengoreksinya sesuai dengan fakta-fakta di persidangan," jelasnya.

Namun, dalam putusan ini Ketua Majelis Hakim mengambil suara terbanyak. Susi pun tetap dijatuhi hukuman 5 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider 3 bulan penjara. Hakim menilai Susi terbukti memberikan suap kepada Ketua MK saat itu, Akil Mochtar, sebesar Rp 1 miliar terkait pengurusan sengketa Pilkada Lebak, Banten dan Rp 500 juta terkait pengurusan Pilkada Lampung Selatan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

Nasional
Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

Nasional
KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait 'Food Estate' Ke Kementan

KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait "Food Estate" Ke Kementan

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Sewa 'Private Jet' SYL Rp 1 Miliar

Pejabat Kementan Tanggung Sewa "Private Jet" SYL Rp 1 Miliar

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Nasional
Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Nasional
MK Jadwalkan Putusan 'Dismissal' Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

MK Jadwalkan Putusan "Dismissal" Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

Nasional
Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Nasional
Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Nasional
[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

Nasional
Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Demokrat Anggap Rencana Prabowo Tambah Kementerian Sah Saja, asal...

Demokrat Anggap Rencana Prabowo Tambah Kementerian Sah Saja, asal...

Nasional
Indonesia Digital Test House Diresmikan, Jokowi: Super Modern dan Sangat Bagus

Indonesia Digital Test House Diresmikan, Jokowi: Super Modern dan Sangat Bagus

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com