JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memutus perkara terdakwa kasus dugaan suap pengurusan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK), Susi Tur Andayani, dengan pasal yang tidak didakwakan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sidang vonis seorang advokad ini pun diwarnai dissenting opinion atau berbeda pendapat oleh dua dari lima hakim.
Hakim menilai susi tidak terbukti Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dakwaan yang disusun jaksa KPK. Pasal ini mengatur tentang hakim yang menerima suap.
"Menyatakan terdakwa Susi Tur Andayani alias Uci tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancan pidana dalam Pasal 12 huruf c," ujar Ketua Majelis Hakim Gosyen Butarbutar saat membaca putusan Susi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (23/6/2014).
Menurut hakim, dakwaan tersebut tidak tepat untuk Susi. Hakim menilai Susi terbukti bersalah menyuap hakim sebagaimana Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Hakim juga menilai Susi terbukti melanggar Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Beda pendapat
Dua dari lima hakim yang berbeda pendapat, yaitu hakim anggota Sofialdi dan hakim anggota Alexander Marwata. Menurut Sofialdi, dakwaan yang disusun jaksa penuntut umum KPK kabur dan harus batal demi hukum.
"Terdakwa Susi Tur Andayani tidak dapat dipersalahkan dan dijatuhi pidana berdasarkan surat dakwaan penuntut umum yang batal menurut hukum tersebut," kata Sofialdi.
Sementara itu, Alexander menilai hakim tidak dapat memutus atau memvonis suatu perbuatan yang tidak didakwakan kepada Susi.
"Majelis hakim juga melampaui kewenangan karena merumuskan dan membuat sendiri pasal yang tidak didakwakan dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa," kata Alexander. Dengan kata lain, Susi dijatuhi hukuman dengan perbuatan yang tidak didakwakan padanya.
Menurut Alexander, penyusunan surat dakwaan dengan pasal yang tidak tepat merupakan kesalahan jaksa penuntut umum KPK dan tidak dapat dilimpahkan tanggung jawab kepada seorang terdakwa. Menurut Alexander, memutus perkara di luar dakwaan akan menimbulkan efek buruk dalam penegakan hukum.
"Tidak tertutup kemungkinan ke depan jaksa penuntut umum akan membuat surat dakwaan asal-asalan dengan harapan dalam proses pemeriksaan di pengadilan majelis hakim akan mengoreksinya sesuai dengan fakta-fakta di persidangan," jelasnya.
Namun, dalam putusan ini Ketua Majelis Hakim mengambil suara terbanyak. Susi pun tetap dijatuhi hukuman 5 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider 3 bulan penjara. Hakim menilai Susi terbukti memberikan suap kepada Ketua MK saat itu, Akil Mochtar, sebesar Rp 1 miliar terkait pengurusan sengketa Pilkada Lebak, Banten dan Rp 500 juta terkait pengurusan Pilkada Lampung Selatan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.