KOMPAS.com --
DUA pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa akan berkompetisi dalam pemilihan presiden. Andre Vincent Wenas menuliskan catatannya.

Kontestasi figur, itulah esensi pemilihan presiden (pilpres). Maka, segala detail kehidupan (masa lalu, kekiniannya, serta visi dan segala harapannya) bakal terus dipertanyakan dan dikritisi.

Joko Widodo dan Jusuf Kalla serta Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa adalah dua pasang (empat figur) yang seolah-olah sedang diletakkan di bawah mikroskop sosial (lokal ataupun global). Terhadap keempat figur inilah segala penilaian diberikan berdasarkan data dan informasi yang bisa diakses serta menerpa publik.

Lalu, apakah realitas keempat figur ini adalah seperti opini yang terbentuk di pikiran masing-masing orang? Atau realitas kedua pasangan adalah seperti opini publik?

Opini publik adalah istilah atau konsep yang ”licin” untuk dipegang maknanya yang jelas. Lantaran opini sendiri terbentuk dari serpihan-serpihan data dan informasi tentang sesuatu, jadi bukan realitas keseluruhannya, dan istilah publik juga selalu menjadi percekcokan tentang publik yang mana, publik di mana, siapa opinion leader-nya, dan seterusnya.

Jadi, yang tersisa dari proses penelaahan keempat figur di tengah gelanggang kontestasi adalah berbagai sudut pandang berdasar serpihan-serpihan data dan informasi yang bisa diakses serta yang selama ini telah menerpa kita semua (publik). Mosaik yang berhasil dikonstruksi atau direkonstruksi oleh masing-masing kita menjadi dasar untuk nanti menentukan pilihan pada tanggal jatuh temponya.

JKW-JK dan PS-HR akhirnya menjadi simbol yang secara semiotik sarat makna. Maka, daya kritis yang dilandasi pikiran terbuka serta hati yang jujur mesti menjadi modal untuk partisipasi politik dalam republik (res publica = urusan publik).

Ketidakpedulian atas urusan publik akan menjadi tanggung jawab etis masing-masing kalau sampai orang-orang yang pandai dan baik membiarkan birokrasi (mesin pemerintahan) negara akhirnya diurus oleh para antagonis demokrasi, musuh kesejahteraan rakyat, dan pelanggar hak asasi manusia.

Kepada dua pasang (empat figur) kontestan yang bakal masuk gelanggang hendaknyalah bersiap diri. Bukan untuk bertarung secara fisik, melainkan untuk kedua pasangan membiarkan dirinya nanti dipilih oleh para pemegang saham republik. Jadi, ini adalah proses pemilihan, bukan pertarungan gladiator di arena pasir.

Karena yang bakal memilih ada begitu banyak orang, adagium yang berlaku adalah seperti yang pernah dibilang oleh Abraham Lincoln: ”You can fool all the people some of the time, and some of the people all the time, but you can not fool all the people all the time.” Maka, karenanya, soal beban sejarah yang belum tuntas dibereskan mesti segera diklarifikasi.

Semua kontestan yang kali ini maju dalam pilpres adalah orang-orang yang pandai dan hebat. Mereka punya leadership dan managerial skills yang mumpuni. Sayang jika masih ada beban sejarah yang sebetulnya terbilang kontemporer masih tertinggal terus menggelayuti pamor salah satu kontestan.

Para pelaku dan saksi sejarahnya masih banyak yang hidup, segera minta secara terbuka untuk diproses secara adil, supaya semuanya terang benderang. Tidak ada kegelapan sejarah karena kegelapan merupakan tempat persembunyian para kriminal dan penjahat. Dengan kejelasan, para pemilih pun akan merasa lega dan bisa menjatuhkan pilihannya kepada yang terbaik di antara yang terbaik.

Saat ini proses kontestasi pilpres mengalami bipolarisasi. Lantaran belum ada klarifikasi sejarah yang adil dan bisa dipercaya publik, bipolarisasi ini seolah mengerucut kepada yang satu adalah kumpulan konspirasi para kroni yang merepresentasi masa lalu yang berat dan kelam dan yang satunya adalah representasi tawaran kooperasi (kerja sama) untuk membangun masa depan yang penuh harapan.

Andre Vincent Wenas
Praktisi Manajemen & Kolumnis
andre.v.wenas@gmail.com