Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Analisis Politik: Indonesia Raya

Kompas.com - 28/01/2014, 09:39 WIB

KOMPAS.com - DI akhir acara yang dipandunya, Najwa Shihab bertanya kepada Megawati Soekarnoputri mengenai keinginan, cita-cita, dan mata hatinya. Dengan menahan air mata, Megawati menjawab, ”Indonesia Raya.” Saya tertegun mendengar itu.

Anda boleh tidak setuju dengan pendapat penulis. Kini, sulit sekali mencari pemimpin politik seperti Megawati. Selain kaya pengalaman dan matang secara politik, dia juga meletakkan seluruh hatinya untuk Republik. Sejujurnya, saya tidak tahu siapa di antara para kandidat presiden yang sudah mendeklarasikan diri untuk maju pada Pemilu 2014 yang akan menjawab dengan spontan ”Indonesia Raya” jika kepada mereka ditanyakan cita-citanya.

SET Sukardi Rinakit
Oleh karena itu, siapa pun yang dekat dengan Megawati, sama seperti siapa pun yang dulu dekat dengan ketiga bung besar (Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir), sejauh ia mau membuka diri dan mata hati, maka transfer pemikiran, cita-cita, sikap politik, dan ideologi kebangsaan otomatis terjadi. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, misalnya, merupakan salah satu contoh dalam cakupan ini. Pada sosok seperti dia, harapan tentang kesejahteraan rakyat bisa diletakkan.

Indonesia yang dangkal

Sulitnya mencari elite di Tanah Air yang dengan tulus berkehendak mewujudkan Indonesia Raya menunjukkan bahwa Indonesia saat ini adalah Indonesia yang dangkal. Ini terjadi hampir di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada tingkat partai politik, misalnya, mudah sekali elite partai mengubah kesepakatan yang sudah dilontarkan kepada publik. Sebagai contoh adalah Partai Demokrat. Sejak awal penyelenggaraan konvensi, mereka menyatakan bahwa pemenang konvensi calon presiden dari partai itu akan ditentukan oleh dua variabel, yaitu hasil jajak pendapat tiga lembaga survei yang mereka kontrak dan pertimbangan Majelis Tinggi Partai Demokrat yang diketuai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun, tiba-tiba ada pernyataan dari salah seorang petinggi partai bahwa apabila hasil jajak pendapat ketiga lembaga independen itu berbeda satu dan yang lain, akan diabaikan dan dipergunakan mekanisme yang lain. Mudah ditebak, mekanisme tersebut tentu bermuara pada hak istimewa Majelis Tinggi, dalam hal ini pertimbangan mutlak SBY.

Dilihat sekilas, tidak ada yang salah dari rencana partai itu untuk mengabaikan hasil survei tersebut. Namun, sulit untuk tidak mengatakan bahwa langkah politik semacam itu adalah dangkal. Politik hanya dilihat sebatas perebutan kekuasaan dengan cara memunculkan kandidat presiden yang secara subyektif mereka pilih. Politik tidak mereka lihat sebagai sesuatu yang lebih bernyawa, yaitu seni mempergunakan kekuasaan demi kepentingan umum.

Praktik politik dangkal tersebut, apabila dijalankan, dipastikan akan semakin memerosotkan dukungan masyarakat terhadap Partai Demokrat. Selain itu, juga berpotensi memunculkan musuh-musuh baru, terutama dari para peserta konvensi karena merasa keputusan Majelis Tinggi tidak adil. Ini belum lagi jika manuver Anas Urbaningrum dan para loyalisnya ikut diperhitungkan.

Situasi politik seperti itu tidaklah sederhana. Demokrasi dangkal (prosedural) yang berlaku selama ini menyimpan keputusasaan publik dan bara konflik. Rakyat yang secara umum kecewa kepada partai, pejabat publik, dan birokrasi yang miskin akuntabilitas akhirnya terpaksa berperilaku tidak demokratis. Mereka bersandar pada ikatan-ikatan primordial.

Seperti dicatat oleh Michael Johnston, mereka akan memilih politisi yang berasal dari daerah sendiri. Meskipun dari segi kualitas dan kapabilitas kepemimpinan rendah, politisi tersebut diharapkan akan sedikit memperhatikan tanah kelahirannya. Maka, kalau dia kalah, kecurigaan terjadinya kecurangan dan politik transaksional dari oponen cepat menyebar dan memanaskan suhu politik.

Kedangkalan politik tersebut ketika bertemu dengan budaya pop yang berkembang secara ekstrem dalam satu dekade terakhir maka yang terjadi adalah penguatan pencitraan dan pragmatisme. Selain itu, seperti dinyatakan Hayono Isman dalam kuliah umum yang diselenggarakan Soegeng Sarjadi Syndicate, Kamis (9/1), pragmatisme politik tersebut telah mengikis gotong royong sebagai jiwa bangsa. Karena itu, gerakan nasional untuk menghidupkannya mutlak diperlukan dan dimotori oleh kepemimpinan nasional.

Dengan demikian, kerja politik tidak terjebak pada pencitraan yang ditandai dominasi rapat dan bincang-bincang politik elite, seperti yang selama ini berlangsung. Jika hal itu terus berlaku, ranah politik akan sering terguncang oleh simpang siur pernyataan para menteri, presiden, dan pejabat publik lain tanpa mereka sendiri tahu kebatinan publik sebenarnya.

Tujuan bernegara

Secara teoretis, kedangkalan politik di Tanah Air bisa dibalik menjadi kebajikan politik masif. Di sini yang diperlukan adalah contoh hidup dan ketokohan sehingga optimisme publik bangkit. Tokoh yang sudah digembleng ideologi dan cita-cita mewujudkan Indonesia Raya adalah simbol yang tepat untuk itu.

Secara prediktif dia akan konsisten mempergunakan kekuatan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta dalam perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial. Itulah Indonesia Raya!

SUKARDI RINAKIT,  Pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate dan Kaliaren Foundation

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Absen di Acara Halalbihalal PKS

Prabowo Absen di Acara Halalbihalal PKS

Nasional
Projo: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Projo: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Nasional
Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Nasional
5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

Nasional
Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Nasional
[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com