Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengamat: Pemilu Serentak Tak Jamin Hapus Politik Transaksional

Kompas.com - 24/01/2014, 11:05 WIB
Sabrina Asril

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
- Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego mempertanyakan keyakinan Mahkamah Konstitusi bahwa Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang digelar serentak bisa menekan politik transaksional. Politik transaksional diyakini akan tetap terjadi meskipun pemilu digelar serentak pada pemilu 2019 dan seterusnya. 

"Politik transaksional itu bukan masalah di pemilunya, tapi memang sebuah konsekuensi dari pelaksanaan multipartai. Jadi kalau pemilunya dibarengi, akan sama saja tetap bagi-bagi kekuasaan," ujar Indria saat dihubungi, Jumat (24/1/2014).

Hal itu dikatakan Indria menyikapi pendapat MK dalam putusan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak.

Indria menjelaskan, dengan konsep multipartai ini, maka tidak akan ada partai politik yang memperoleh suara mayoritas. Dia mencontohkan, Partai Demokrat pada Pemilu 2009 mendapat suara mayoritas dan mampu mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden sendiri. Namun, tetap saja Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan koalisi dalam kabinetnya.

"Jadi koalisi ini bercabang. Meski dalam sistem presidensial, semua partai pasti akan meminta dukungan dan melakukan praktek bagi kekuasaan," ucap Indria.

Dia melanjutkan, alasan akan terbentuknya koalisi yang ideologis pun masih bisa diperdebatkan. Pasalnya, koalisi ideologis sejak dini tetap saja bisa gugur di kemudian hari.

Ia mengatakan, pelaksanaan pemilu serentak pada 2019 memang bisa mengikis koalisi pragmatis di putaran pertama. Namun, untuk mencari pemenang calon Presiden dengan suara 50 persen ditambah 1 persen, Indria berkeyakinan akan ada koalisi dan mengerucut pada dua kubu pemilik suara terbanyak.

"Akhirnya, tetap saja koalisi instan yang terjadi. Tidak ada bukti empiris pemilu serentak tekan politik transaksional," kata Indria.

Seperti diberitakan, Mahkamah Konstitusi berpendapat, pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pileg telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung UUD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilu yang dimaksud UUD 1945. Untuk itu, MK memutuskan pemilu dilaksanakan secara serentak yang dimulai pada 2019.

Dalam penyelenggaraan Pilpres 2004 dan 2009, menurut MK, ditemukan fakta politik bahwa calon Presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik untuk mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden. Tawar-menawar politik itu juga dilakukan agar mendapatkan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan ketika terpilih.

Akibat tawar-menawar itu, pandangan MK, sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari. Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang seperti karena persamaan garis perjuangan partai politik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com