Dalam penyelenggaraan Pilpres 2004 dan 2009, menurut MK, ditemukan fakta politik bahwa calon Presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik untuk mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden. Tawar-menawar politik itu juga dilakukan agar mendapatkan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan ketika terpilih.
Akibat tawar-menawar itu, pandangan MK, sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari. Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang seperti karena persamaan garis perjuangan partai politik.
Pendapat MK itu disampaikan dalam putusan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak. Putusan tersebut dibacakan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/1/2014).
"Oleh karena itu, Presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai politik yang menurut Mahkamah dapat mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial. Dengan demikian, menurut Mahkamah, penyelenggaraan Pilpres harus menghindari terjadinya negosiasi dan tawar-menawar politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang," demikian bunyi putusan MK.
Selain itu, menurut MK, dengan pelaksanaan Pileg dan Pilpres yang tidak serentak, praktik ketatanegaraan hingga saat ini ternyata tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki. Hasil dari pelaksanaan Pilpres setelah Pileg juga tidak memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi.
"Mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), terutama antara DPR dan Presiden tidak berjalan dengan baik. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan penyederhanaan partai politik secara alamiah," bunyi putusan MK.
Dalam praktiknya, masih menurut MK, model koalisi yang dibangun antara partai politik dengan pasangan capres dan cawapres justru tidak memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Pengusulan pasangan capres dan cawapres oleh gabungan partai politik tidak lantas membentuk koalisi permanen dari partai politik atau gabungan partai politik yang kemudian akan menyederhanakan sistem kepartaian.
"Berdasarkan pengalaman praktik ketatanegaraan tersebut, pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak memberi penguatan atas sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh konstitusi. Oleh karena itu, norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh UUD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilihan umum yang dimaksud oleh UUD 1945," demikian bunyi putusan MK.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.