Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sudah Saatnya Koruptor Disengsarakan

Kompas.com - 10/12/2013, 18:18 WIB
Maria Susy Berindra A

Penulis


KOMPAS.com - Semakin hari korupsi bukannya berkurang, tetapi malah semakin mengkhawatirkan. Bahkan, korupsi semakin menggila dan menyebar di semua lini: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Ancaman hukuman penjara tak membuat jera para koruptor. Berbagai kasus korupsi yang diungkapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum membuat kapok para koruptor. Usulan memiskinkan koruptor pun semakin menguat.

Hari Antikorupsi Internasional diperingati setiap 9 Desember. Momentum ini menjadi ajang bagi masyarakat, termasuk mahasiswa, untuk mengingatkan pemerintah bahwa pemberantasan korupsi masih compang-camping.

Sebagai gambaran, penilaian terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bisa dilihat dari angka Indeks Korupsi Indonesia lima tahun terakhir. Pada 2011, dari 182 negara yang dievaluasi, Indonesia berada di peringkat ke-100 dengan angka indeks 3 dari skala 0 yang terendah dan 10 yang tertinggi. Artinya, angka korupsi di Indonesia tinggi.

Begitu juga tahun 2012 peringkat Indonesia ada di angka 118 dari 176 negara di dunia. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Singapura, Brunei, dan Malaysia, angka indeks Indonesia di bawah 5.

Salah satu kelompok yang menggelar aksi keprihatinan pada kasus korupsi adalah Forum Komunikasi Mahasiswa Politeknik se-Indonesia (FKMPI). Puluhan mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta yang tergabung dalam FKMPI bersiap long march di tengah riuhnya car free day di Jalan Sudirman, Jakarta.

Mereka ingin membangun harapan masyarakat untuk pemberantasan korupsi. Mereka juga mengajak masyarakat tak bersikap pesimistis, apalagi apatis, dengan banyaknya kasus korupsi.

Koordinator aksi, Ibnu Attoilah, mengungkapkan, pihaknya membuat pohon harapan untuk menampung harapan masyarakat bagi Indonesia yang bebas korupsi.

”Kami ingin menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai tindakan-tindakan kecil yang bisa menumbuhkan korupsi, seperti menyontek, berbuat curang, dan melanggar aturan,” ujar mahasiswa Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Jakarta ini.

Mengenai hukuman yang pantas bagi koruptor, menurut Ibnu, adalah memiskinkan harta koruptor. ”Semua harta yang dimiliki koruptor dan keluarganya harus disita negara. Kalau perlu KPK mencanangkan hukuman yang lebih berat, seperti hukuman mati atau potong tangan. Kita bisa mencontoh China yang menyiapkan peti mati bagi koruptor,” ujarnya.

Ibnu menambahkan, DPR sebagai pembuat undang-undang sepertinya takut membuat aturan hukuman korupsi yang lebih berat. Padahal, di tangan merekalah masyarakat berharap ada peraturan yang tegas.

Sanksi sosial

Mahasiswa Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, Bandung, Rahadian Riza Modana, mengatakan, tak cukup hanya dimiskinkan, koruptor juga harus mendapat sanksi sosial untuk dirinya sendiri dan keluarganya.

”Misalnya koruptor dan keluarganya dikucilkan dari lingkungan sekitar. Masyarakat juga harus menyoroti gaya hidup keluarganya, kalau perlu ada beberapa akses publik yang dibatasi bagi mereka,” katanya.

Kalau kedua hukuman itu bisa diberlakukan dengan tegas, pasti banyak orang akan berpikir ulang untuk korupsi. ”Masalah utama adalah hukuman bagi koruptor tidak memberatkan. Orang korupsi miliaran rupiah hanya dihukum paling lama 15 tahun, dengan proses peradilan yang panjang. Mereka malah nyaman di penjara, bisa mendapatkan fasilitas yang mewah karena mereka bisa ’membelinya’,” katanya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com