Hukuman tak maksimal
Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menyebutkan, penyelenggara negara kita tidak konsisten. ”Di satu sisi menetapkan korupsi sebagai extra ordinary crime sekaligus musuh terbesar bangsa ini. Namun, sanksi bagi koruptor begitu ringan. Seorang perampok yang membunuh korbannya bisa dihukum mati, tetapi korupsi yang menyebabkan terbunuhnya jutaan manusia tidak dikenai hukuman maksimal, yakni hukuman mati.”
Tanpa hukuman mati, menurut Said, koruptor bisa bebas dan mengulangi lagi korupsinya. Bila kesalahannya tidak signifikan pada kerugian negara, mungkin hukumannya dengan memiskinkan harta koruptor. Untuk memberikan hukuman maksimal kepada koruptor tak cukup hanya dilakukan oleh KPK yang hanya melaksanakan peraturan.
”Pada banyak kasus KPK dan Pengadilan Tipikor sudah cukup ’ganas’ terhadap koruptor walaupun Pengadilan Tipikor Bandung pernah lembek dengan memutus bebas Wakil Wali Kota Bogor Achmad Ru’yat. Jadi, sudah sepatutnya kita menyatakan sikap belum puas kepada KPK dan Pengadilan Tipikor karena selalu saja ditemukan kasus-kasus yang diancam dengan hukuman ala kadarnya, bahkan dibebaskan,” kata dia.
Apresiasi patut diberikan kepada Mahkamah Agung yang memperberat hukuman mantan politisi Partai Demokrat, Angelina Sondakh. Majelis hakim kasasi di MA memperberat hukuman Angie, panggilannya, dari 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 250 juta menjadi 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp 500 juta. Tak sebatas mengembalikan kepada tuntutan jaksa, majelis hakim kasasi menjatuhkan pula pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS.
”Dalam catatan kami, baru kasus Angie yang paling sukses di MA. Itu lantaran hakim agung yang memeriksanya orang bersih. Namun, dalam banyak kasus yang lain, MA justru memvonis bebas, misalnya pada kasus Wakil Bupati Jember yang diputus bebas oleh hakim agung,” ujarnya.
Di sisi lain, KPK merasa penuntutan hukuman bagi koruptor sudah maksimal. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, KPK sedang mengembangkan upaya memiskinkan koruptor, salah satunya mendesain alat untuk memiskinkan koruptor yang selama ini hanya dihitung kerugian negara, tetapi tidak menghitung dampak kejahatan korupsinya.
”Misalnya mengenai penebangan hutan liar dan merusak hutan, maka dia harus bertanggung jawab mengganti nilai kerugian, termasuk berapa dampak kerugian akibat hutan rusak. Jadi, dia harus mengganti pohon-pohon yang sudah ditebang,” ujarnya.
Menurut Bambang, KPK selama ini sudah menerapkan tuntutan hukuman yang maksimal meski kemudian keputusan ada di tangan Pengadilan Tipikor. KPK sedang berusaha mengintegrasikan isu terkait pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi.
”Kejahatan korupsi sama dengan pelanggaran HAM. KPK juga sedang mendekati Pengadilan Tipikor supaya ada sanksi lain bagi koruptor, yaitu hak politiknya dicabut,” kata Bambang.
Desakan masyarakat untuk memiskinkan koruptor semakin menguat. Semoga saja hukuman yang lebih berat bisa membuat orang jera melakukan korupsi. (SUSIE BERINDRA)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.