Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/10/2013, 10:50 WIB


Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.

Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.

Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.

Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).

Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.

Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.

Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.

Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.

Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.

Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Airlangga Yakin Terpilih Kembali Jadi Ketum Golkar Secara Aklamasi

Airlangga Yakin Terpilih Kembali Jadi Ketum Golkar Secara Aklamasi

Nasional
Diberi Tugas Maju Pilkada Banten, Airin Ucapkan Terima Kasih ke Airlangga

Diberi Tugas Maju Pilkada Banten, Airin Ucapkan Terima Kasih ke Airlangga

Nasional
PKS: Pasangan Sohibul Iman untuk Pilkada Jakarta Tunggu Koalisi Terbentuk

PKS: Pasangan Sohibul Iman untuk Pilkada Jakarta Tunggu Koalisi Terbentuk

Nasional
Optimalkan Pengelolaan, Kemenag Siapkan Peta Jalan Zakat Nasional 2025-2045

Optimalkan Pengelolaan, Kemenag Siapkan Peta Jalan Zakat Nasional 2025-2045

Nasional
Golkar Tugaskan Airin Rachmi Diany jadi Calon Gubernur Banten

Golkar Tugaskan Airin Rachmi Diany jadi Calon Gubernur Banten

Nasional
PP KPPG Dukung Airlangga Hartarto Kembali Jadi Ketum Partai Golkar

PP KPPG Dukung Airlangga Hartarto Kembali Jadi Ketum Partai Golkar

Nasional
Usung La Nyalla, Nono, Elviana, dan Tamsil, Fahira Idris: DPD Butuh Banyak Terobosan

Usung La Nyalla, Nono, Elviana, dan Tamsil, Fahira Idris: DPD Butuh Banyak Terobosan

Nasional
VoB Bakal Sampaikan Kritik Genosida Hingga Lingkungan di Glastonbury Festival

VoB Bakal Sampaikan Kritik Genosida Hingga Lingkungan di Glastonbury Festival

Nasional
La Nyalla Sebut Amendemen UUD 1945 Jadi Prioritas DPD

La Nyalla Sebut Amendemen UUD 1945 Jadi Prioritas DPD

Nasional
La Nyalla Akan Ajak Prabowo Kembalikan UUD 1945 ke Naskah Asli

La Nyalla Akan Ajak Prabowo Kembalikan UUD 1945 ke Naskah Asli

Nasional
Puluhan Anggota DPD Dukung La Nyalla Jadi Ketua Meski Suara Komeng Lebih Banyak

Puluhan Anggota DPD Dukung La Nyalla Jadi Ketua Meski Suara Komeng Lebih Banyak

Nasional
Kemensos Bantah Bansos Salah Sasaran, Klaim Data Diperbarui Tiap Bulan

Kemensos Bantah Bansos Salah Sasaran, Klaim Data Diperbarui Tiap Bulan

Nasional
Digitalisasi dan Riset Teknologi, Kunci Utama Kinerja Positif Pertamina Sepanjang 2023

Digitalisasi dan Riset Teknologi, Kunci Utama Kinerja Positif Pertamina Sepanjang 2023

Nasional
Kaget PDI-P Ingin Usung Anies, Ketua Nasdem Jakarta: Wow, Ada Apa Nih?

Kaget PDI-P Ingin Usung Anies, Ketua Nasdem Jakarta: Wow, Ada Apa Nih?

Nasional
Jemaah Haji Diimbau Patuhi Jadwal Kepulangan ke Tanah Air

Jemaah Haji Diimbau Patuhi Jadwal Kepulangan ke Tanah Air

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com