JAKARTA, KOMPAS.com - Peran Kementerian Hukum dan HAM sebagai Central Authority terkait pengembalian aset negara hasil tindak pidana yang disimpan di luar negeri perlu diubah. Pemerintah disarankan membuat lembaga khusus untuk menangani Central Authority atau menyerahkan kepada Kejaksaan.
Hal itu terungkap dalam diskusi Asset Recovery dan Perburuan Aset Koruptor di Luar Negeri di Jakarta, Rabu ( 4/9/2013 ). Diskusi dihadiri Koordinator Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Jamil Mubarok, Ketua Kelompok Hukum Direktorat Hukum PPATK Riono Budisantoso, dan akademisi Yusfidly Adhyaksana.
"Berdasarkan catatat MTI, setidaknya CA pernah menerima permintaan 80 kasus yang berkaitan perburuan aset dan koruptor," sebut Jamil. Dari permintaan itu, hanya tiga yang telah selesai. Sebanyak 17 kasus tidak ditindaklanjuti dan 60 kasus sedang dalam proses.
Jamil menjelaskan, lambannya proses di CA akibat birokrasi yang panjang hingga 12 tahap. Permintaan awalnya masuk ke Menteri Hukum dan HAM, lalu ke Dirjen Administrasi Hukum Umum, Direktur Hukum Internasional, Kasubdit Otoritas Pusat dan Hukum Humaniter, Kasi MLA dan Kasis Ekstradisi, lalu ke Staf Subdit Otoritas Pusat dan Hukum Humaniter.
Dari Staf Subdit Otoritas Pusat dan Hukum Humaniter lalu naik lagi berjenjang ke atas. Satu tahapan tidak mungkin satu hari, bisa berbulan-bulan. "Kayak ketika buronan Djoko Tjandra terendus di Singapura, belum selesai birokrasi dia sudah lari ke Papua Nugini," ucap Jamil.
Masalah lain, kata Jamil, tidak ada prosedur khusus untuk permintaan ke CA. Surat untuk CA diperlakukan sama dengan surat biasa. Masalah selanjutnya, minimnya kemampuan bahasa asing yang akhirnya mengganggu proses diplomasi serta kurangnya pemahaman hukum internasional beserta instrumen khusus terkait upaya pengembalian aset.
Jamil menambahkan, kendala utama adalah Kemenkum dan HAM bukan lembaga penegak hukum. Padahal, kata dia, banyak negara hanya berhubungan dengan penegak hukum dalam proses pengembalian aset atau memburu buronan.
Karena kasus yang ditangani tidak hanya satu kasus, Jamil berpendapat CA sebaiknya dialihkan ke kejaksaan. "Akan memudahkan komunikasi informal sehingga permintaan dapat ditangani dengan baik dan cepat. Kemenkum dan HAM bukan penegak hukum, bukan (lembaga) diplomasi," ucap Jamil.
Pendapat senada dikatakan Riono, bahwa birokrasi yang panjang menghambat kerja CA. "Sebetulnya bisa dipotong kalau MLA (Mutual Legal Assistance) berada di penegak hukum. Tidak lagi melempar ke pihak lain seperti Kemenkum dan HAM dan Kemenlu," ucapnya.
Yusfidli yang tengah menyusun disertasi perihal Asset Recovery Indonesia berpendapat, sebaiknya dibentuk lembaga baru sebagai CA. Nantinya, lembaga itu diisi dari berbagai instansi seperti Kepolisian, Kejaksaan, Kementerian Luar Negeri, dan Kemenkum dan HAM.
Jika CA dipegang Kemenkum dan HAM, kata Yusfidli, ada ego sektoral antarinstitusi dalam penanganan. Meskipun, kata dia, adanya ego sektoral itu tidak mau diakui. Nantinya, jika terbentuk lembaga baru untuk CA, jaksa dapat ditunjuk sebagai pemimpin lembaga.
"Kalau mau CA efektif, maka harus ada terobosan, harus ada perlakuan khusus. Perlu ada lembaga baru. Nantinya ada jaksa, auditor, pakar pencucian uang, diplomat, dan lainnya," kata Yusfidli.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.