JAKARTA, KOMPAS.com
— 
Keterbatasan sumber dana partai politik semakin mendorong pencarian dana secara ilegal. Terlebih lagi, ikatan antara parpol dan pemilih semakin lemah sehingga jumlah dana internal parpol merosot. Krisis finansial parpol ini pada akhirnya memicu korupsi.

Demikian dikatakan dosen Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana, Jumat (2/8/2013), dalam diskusi Meninjau Ulang Banggar dan Kewenangan Pembahasan Anggaran DPR di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta.

Selain Ari Dwipayana, turut menjadi pembicara Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Arif Nur Alam, peneliti ICW Donal Fariz, dan Wakil Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Very Junaidi.

”Sebenarnya, ada bantuan keuangan partai, tetapi tidak cukup. Lalu, sumber-sumber dana lain makin dicari. Partai, misalnya, tidak pernah secara formal menugaskan anggota untuk menggalang dana, tetapi elite partai kerap menugaskan ’orang kepercayaan’ duduk di posisi strategis DPR, termasuk di badan anggaran,” ujar Ari.

YLBHI, FITRA, IBC, dan ICW telah mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Uji materi dimaksudkan untuk meminimalkan peluang korupsi dan praktik mafia anggaran.

Empat pokok materi uji materi terkait keberadaan Badan Anggaran (Banggar) DPR, kewenangan DPR untuk membahas RAPBN secara terperinci, praktik perbintangan atau pemblokiran anggaran, dan pembahasan RAPBN.

Arif mengatakan, anggota DPR tidak akan mempunyai cukup waktu untuk menelaah anggaran yang diajukan pemerintah. Tak heran, dengan sistem yang kini berjalan terjadi konspirasi anggaran.

”Pola untuk mengambil dana anggaran untuk memperkaya diri sendiri, kelompok, dan demi mobilitas partai juga sangat mutakhir. Mereka tidak sekadar mengalokasikan proyek di dapil (daerah pemilihan) masing-masing, tetapi sudah zig-zag antardapil,” ujar Arif.

Korupsi-korupsi yang melibatkan anggota DPR selama ini, menurut Donal, dipicu tingginya biaya politik. ”Ada partai, misalnya, yang menggelar kongres dengan dana puluhan miliar rupiah. Lagi-lagi, sumber dananya tidak jelas dari mana,” ujar Donal.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, secara terpisah juga menduga, pembahasan APBN Perubahan kerap dijadikan celah korupsi oleh anggota DPR. Karena itu, APBN-P sebaiknya ditiadakan, kecuali jika terjadi perubahan perekonomian yang luar biasa. (RYO/FAJ)