JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, kepolisian, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melindungi enam mantan anak buah bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Mereka merupakan saksi penting penyelesaian kasus-kasus terkait Nazaruddin di KPK. Desakan ini disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Indonesia Legal Rountable (ILR).
"Ada enam saksi yang mendapatkan ancaman, misalnya Yulianis, dilaporkan Ibas ke Polda dan sebelumnya pemalsuan tanda tangan di kasus saham Garuda. Kalau tidak direspons dengan kesadaran pemberantasan korupsi, lama-lama kasus di KPK mandek," kata peneliti ICW Febri di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/6/2013).
Menurutnya, keenam anak buah Nazaruddin mengetahui seputar sepak terjang mantan atasannya itu dalam sejumlah kasus dugaan korupsi. Keenamnya adalah mantan Wakil Direktur Keuangan Grup Permai, Yulianis, mantan Direktur Utama PT Pacific Putra Metropolitan, Bayu Wijokongko, mantan Wakil Direktur Marketing PT Anugerah Nusantara, Clara Mauren, mantan karyawan pemasaran Grup Permai Gerhana Sianipar, mantan Direktur Administrasi Grup Permai Unang Sudrajat, dan mantan Direktur Pemasaran PT Anak Negeri, Mindo Rosalina Manulang.
Kini, menurut Febri, mereka mendapatkan ancaman dari pihak-pihak tertentu. Sebagiannya malah ditetapkan lembaga penegak hukum lain sebagai tersangka. Misalnya, Yulianis pernah dijadikan tersangka kepolisian atas dugaan pemalsuan tanda tangan terkait pembelian saham PT Garuda Indonesia serta dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Eddhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) atas dugaan pencemaran nama baik. Padahal, menurut Febri, Yulianis merupakan saksi penting yang memegang catatan uang keluar dan masuk Grup Permai.
Selain Yulianis, ada Bambang Wijokongko yang dijadikan tersangka Kejaksaan Agung dalam kasus pengadaan pesawat latih pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia.
"Ini jadi masalah serius kalau direktur-direktur itu yang menjadi saksi penting terancam di kepolisian dan kejaksaan. Maka, KPK tidak bisa menggunakan supervisi koordinasi dengan cara standar karena kasus Nazaruddin luar biasa dan seolah ada rebutan perkara antara penegak hukum," ujar Febri.
Selain kasus suap wisma atlet SEA Games dan tindak pidana pencucian uang pembelian saham perdana PT Garuda Indonesia, KPK menduga ada kasus lainnya yang melibatkan Nazaruddin. KPK pernah menyatakan bahwa nilai proyek yang terkait dengan Nazaruddin mencapai Rp 6 triliun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.